bidik.co — Politisi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy menduga ada tujuan tertentu dari ekonom Faisal Basri sehingga melayangkan tudingan terhadap mantan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Menurut dia, dari tudingannya, Faisal seakan menginginkan Indonesia kembali menjadi bangsa kuli dengan menjual mineral mentah.
“Dugaan saya, beliau ini sedang memainkan satu peran. Saya susah bicaranya karena bagaimana pun beliau saudara kami, tapi insya Allah kita sangat paham,” kata Tjatur, Kamis (28/5/2015).
Tjatur mengatakan, dugaannya bukan tanpa alasan. Dalam waktu yang hampir berdekatan, menurut dia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga mengeluarkan pernyataan yang bernada menyerang mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Sudirman menyebut banyak kasus mafia migas yang penanganannya berhenti di meja Presiden.
“Ada oknum pemerintah sekarang yang mencoba melanggar Undang-undang No 4 tahun 2009. Dan ada upaya pihak tertentu agar kita kembali menjadi bangsa kuli yang hanya menjual ciptaan tuhan,” ujarnya.
Sebelumnya, Faisal menyebut Hatta sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Ia menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah untuk maju dalam Pemilu Presiden 2014.
“Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas,” ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia” di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Tjatur mengatakan, Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri sudah sesuai dengan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara khususnya pasal 102, 103 dan 170. Ia menjelaskan, setiap perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian hasil pertambangannya di dalam negeri.
Selain itu, perusahaan kontrak karya juga diberi kewajiban untuk membangun tempat pemurnian atau smelter selambat-lambatnya lima tahun setelah UU itu disahkan.
“UU itu disahkan pada 12 Januari 2009, sehingga penerbitan Permen ESDM tersebut sudah sesuai dengan amanah UU karena diterbitkan selambat-lambatnya pada 12 Januari 2014. Kalau Pemerintah tidak menerbitkan permen itu, itu artinya beliau melanggar amanah UU dan itu berdampak Presiden bisa di-impeach,” papar Tjatur.
Anggota Komisi III itu menilai, dalam jangka pendek penerapan UU dan Permen tersebut berdampak pada pengurangan devisa yang masuk. Pasalnya, belum semua perusahaan pertambangan yang siap dan telah memiliki smelter. Meski demikian, negara juga tidak mengalami kerugian karena barang hasil tambang perusahaan itu masih utuh dan tidak bisa dibawa keluar.
Lebih jauh, Tjatur mengatakan, penerapan regulasi ini juga tak sedikit mendapatkan penolakan. Bahkan, penolakan itu sudah terjadi sejak UU itu dibahas pada 2009 lalu antara pemerintah dengan DPR. Namun, ia mengapresiasi, kinerja pemerintah dan DPR saat itu yang telah berkomitmen untuk meningkatkan nilai jual hasil pertambangan.
“Memang kebijakan ini bagi orang-orang neolib, para pemburu rente, dan penghamba Washington Consensus adalah kebijakan yang tidak populer. Negara-negara besar tidak suka melihat Indonesia menjadi negara besar, karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang cenderung protection nationalism,” ujar Tjatur. (*)