Home / Kolom_2 / Tragedi Quick Count

Tragedi Quick Count

Oleh: Fajar Nursahid

bidik.co — Beberapa waktu lalu kita dibuat bingung oleh simpang-siurnya informasi pemenang Pilpres 2014. Kedua kubu, baik pasangan Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, sama-sama mengklaim kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga. Anehnya, hasil hitungan para lembaga hitung cepat tersebut hasilnya berkebalikan secara diametral. Sejumlah lembaga seperti Puskaptis, IRC, LSN, dan JSI memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dengan angka sekitar 50-52 persen berbanding 47-49 persen.

Sebaliknya lembaga-lembaga lain seperti Populi Center, CSIS-Cyrus, Litbang Kompas, RRI, SMRC, Indikator Politik, Poll-Tracking Institute dan LSI hasil hitungannya memenangkan pasangan Jokowi-JK –juga pada kisaran angka yang kurang lebih sama: 50-53 persen berbanding 46-48 persen. Baru kali ini dalam sejarah Indonesia, Pemilu versi quick count “dimenangi” oleh dua pasang Capres/Cawapres sekaligus.

Tentu saja hasil quick count ini membingungkan. Masyarakat yang seharusnya tercerahkan oleh quick count melalui proyeksi hasil Pemilu secara cepat, justru mengalami ketidakpastian informasi. Terlebih lagi, hasil hitung cepat tersebut disiarkan secara masif oleh kelompok media cetak, elektronik, dan internet yang juga cenderung saling “berhadapan” secara terbuka.

Sekali lagi, dalam sejarah Pemilu di Indonesia, baru kali bukan hanya pasangan Capres-Cawapres yang berhadapan secara diametral; tapi juga masyarakat, media, dan tak ketinggalan lembaga-lembaga survei/pelaksana hitung cepat.

Hiruk-pikuk klaim kemenangan kedua pasangan Capres-Cawapres berdasarkan hasil hitung cepat ini merupakan tragedi demokrasi. Apakah masuk akal, jika data yang sama dihitung oleh banyak lembaga hasilnya berbeda-beda dan mengerucut pada dua hasil yang saling berhadapan?

Jelas, tidak mungkin dua-duanya salah, atau sebaliknya, dua-duanya benar. Pasti ada satu pihak yang benar dan satu pihak yang salah. Tetapi, kepentingan politiklah yang menggelapkan “kebenaran” ini. Sehingga hitungan quick count yang seharusnya bisa menjadi petunjuk perolehan hasil Pemilu secara cepat, justeru menjadi biang sengkarut politik yang merisaukan.

Setelah KPU mengumumkan hasil perhitungan resmi pada 22 Juli 2014, barulah kita tahu, mana lembaga hitung cepat yang benar-benar dan mana yang abal-abal. Sebagaimana kita tahu, KPU menetapkan pasangan Jokowi – JK sebagai pemenang Pemilu dengan meraih suara terbanyak sebesar 70.997.833 suara (53,15 persen), berselisih 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo – Hatta yang meraih 62.576.444 suara (46,85 persen).

Mengacu pada hasil perhitungan KPU sebagai patokan, maka terlihat bahwa sejumlah lembaga survey hasil hitung cepatnya sangat tidak akurat, bahkan nyata-nyata salah; karena memproyeksi hasil yang berkebalikan. Jika kita berpegang kepada praktik yang lazim digunakan bahwa margin of error dari quick count adalah +/- 1 persen, maka lembaga seperti Populi Center dan CSIS-Cyrus hasil itung cepatnya cenderung kurang akurat karena selisihnya di atas 1 persen poin dengan hasil perhitungan KPU.

Sementara empat lembaga: Puskaptis, IRC, LSN dan JSI hasil hitungannya nyata-nyata salah. Bukan saja selisih itungan mereka dengan KPU yang relatif besar (lebih dari 3 persen poin), tetapi mereka juga nyata-nyata salah karena memprediksi hasil yang berkebalikan.

Di sinilah “tragedi” quick count itu terjadi. Kok bisa? Bukankah data yang dihitung sama? Quick count –meskipun tunduk pada kaidah-kaidah survey kebanyakan terutama dalam pencuplikan sampel, tetapi dia bukanlah survey. Yang dicatat dan “diamati” oleh quick count bukanlah persepsi sebagaimana survey-survey sosial politik pada umumnya, tetapi data hasil perhitungan perolehan suara di TPS. Sehingga quick count seharusnya dapat memprediksi dengan akurat hasil perhitungan KPU di kemudian hari. Tetapi, tentu saja itu jika quick count nya dilakukan dengan benar!

Bagaimana Bersikap?
Sebenarnya mudah menilai mana lembaga quick count yang kredibel atau tidak. Kita tahu, kredibilitas bukanlah sesuatu yang mendadak dan terjadi begitu saja. Kredibilitas ditentukan oleh akumulasi pengalaman, hasil kerja, dan pengakuan masyarakat yang panjang.

Oleh karena itulah pentingnya rekam jejak (track record) sebagai penimbang. Dalam dunia yang serba digital dan komputasi ini, dengan mudah kita bisa melakukan penelusuran sejauhmana rekam jejak lembaga-lembaga hitung cepat tersebut bekerja selama ini.

Bagi lembaga yang sudah memiliki pengalaman panjang, tentu tidak mudah baginya untuk “main-main” dengan quick count. Karena hasilnya nanti akan dibanding dengan perhitungan manual KPU, bagi lembaga survey, quick count tak ubahnya pertaruhan reputasi untuk membuktikan hitungan siapa yang akurat. Oleh sebab itu, jika sebuah lembaga “main-main” dengan quick count, sama artinya dengan bunuh diri.

Selain rekam jejak, audit terhadap lembaga hitung cepat dapat memandu kita memahami kredibilitas sebuah lembaga. Setidaknya, audit dapat dilakukan terkait dengan tiga hal: metodologi, hasil, dan pendanaan/sponsor.

Secara metodologi, sebuah lembaga quick count harus dapat menjelaskan bagaimana hitung cepat yang mereka lakukan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Pemilihan sampel, misalnya, adalah bagian paling mendasar untuk dapat menilai apakah quick count yang mereka lakukan sudah benar.

Bagaimana sampel di ambil? Apakah proporsional dan menyebar? Bagaimana instrument disusun? Bagaimana lalu lintas data dari lapangan ditransfer ke data center? Dan sebagainya. Lembaga quick count yang baik harus bisa memberikan klarifikasi metodologis terhadap sejumlah pertanyaan-pertanyaan pokok ini.

Audit hasil bisa dilakukan dengan membandingkan hasil masing-masing lembaga tersebut dengan berbagai aktivitas sejenis seperti proyeksi survey-survei elektabilitas, kecenderungan perhitungan suara manual oleh KPU, maupun hasil hitung cepat lembaga lain yang independen. Oleh karena quick count merupakan proses ilmiah, seharusnya akan menghasilkan angka yang kurang lebih sama jika dilakukan dengan metode yang benar dan objektif.

Memang di tingkat ini kita menghadapi kesulitan karena dua kubu didukung oleh hasil quick count yang berbeda-beda. Tetapi marilah kita keluar sejenak dari pengkubuan ini untuk melihat lebih jernih lembaga mana yang relatif independen dan tidak partisan. Taruhlah di dua kubu masing-masing didukung oleh lembaga yang partisan, rasanya ada lembaga lain yang kita pandang bisa “menengahi”. Hasil dari lembaga ini bisa kita jadikan patokan untuk menjawab keyakinan kita terkait hasil quick count yang lebih masuk akal.

Setelah metodologi dan hasil, audit sponsor/pendanaan dapat pula menjadi pertimbangan. Lembaga survey harus terbuka dengan dengan sumber pendanaan quick count sebagai bagian dari akuntabilitas publik. Sumber pendanaan dibelakang lembaga quick count bisa membantu kita untuk memahami hasil secara objektif. Hal ini terutama untuk menilai lembaga-lembaga quick count yang partisan.

Walaupun sebenarnya secara ideal, lembaga quick count tidak boleh tunduk begitu saja meskipun dia menerima dana dari pihak tertentu. Sumber pendanaan tidak boleh mempengaruhi objektivitas hasil.

Tragedi quick count pada Pilpres 2014 memang membawa kita kepada keprihatinan yang mendalam. Semoga ini melecut kita untuk belajar dari kesalahan dan tidak mengulang kebodohan yang sama di masa-masa yang akan datang. ***

*) Peminat Kajian Politik dan Demokrasi, Team Leader Quick Count LP3ES pada Pemilu 2009.

Komentar

Komentar

Check Also

Difriadi: Pilkada Harus Jadi Persemaian Demokrasi di Indonesia

Bidik.co — Bulan November 2024, rakyat Indonesia masih harus memenuhi hak dan kewajiban politiknya untuk …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.