bidik.co — Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) telah melantik seluruh menteri yang akan bekerja di pemerintahannya. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri dari 34 menteri dari kalangan partai politik dan profesional.
Dari sejumlah menteri yang ada, tak satu pun yang mewakili kader inti dari Ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah.
Sementara jauh-jauh hari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin telah memberi pujian pada Jokowi-JK. Menurutnya, jika dikaitkan pada nilai religius, Jokowi-JK merupakan pemimpin terpilih dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Pasangan terpilih itu merupakan pilihan Tuhan, bila dilihat dari sisi religi,” ujarnya pada jumpa pers di Gedung PP Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Sedangkan mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang juga Penasihat Tim Transisi Jokowi-JK, Ahmad Syafii Maarif meminta untuk tidak bereaksi lebih dulu.
“Sikap yang baik itu, wait and see. Kita tunggu saja. Kita nggak usah dulu bereaksi,” pintanya.
Namun ketika dipersoalkan kenapa sampai tidak ada kader Muhammadiyah yang diangkat oleh Jokowi, Buya mengatakan dirinya sudah berusaha maksimal untuk mengusulkan kader Muhammadiyah masuk di dalamnya.
“Sudahlah, sudahlah. Kita sudah maksimal. Kader inti Muhammadiyah yang kita usulkan tidak ada yang masuk. Tapi kalau kader-kader sub kultur Muhammadiyah ada beberapa di dalam. Sudahlah, bagi saya nggak usah disoalkan lagi. Politik ya, politik itu penuh pertarungan,” lanjutnya.
Sementara itu Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mukti mengakui jika tidak ada satupun pengurus PP Muhammadiyah yang masuk di kabinet Jokowi. Padahal menurut dia, sedikitnya ada dua kader terbaik PP Muhammadiyah yang direkomendasikan untuk masuk Kabinet Kerja Jokowi.
“Kita sebetulnya mengusulkan beberapa nama, tapi tidak diakomodir oleh Jokowi-JK. Misalnya untuk menteri pendidikan Bambang Setiaji, tapi presiden berhendak lain,” kata Mukti saat dihubungi merdeka.com, Senin (27/10/2014).
Mukti mengakui memang ada beberapa nama yang berasal dari unsur Muhammadiyah seperti Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Namun kedua orang tersebut bukan representasi Muhammadiyah murni, melainkan perwakilan dari partai politik yakni Hanura dan NasDem.
Dia tak tahu alasan mengapa Jokowi dan JK tidak mengakomodir Muhammadiyah meskipun dia paham betul jika soal menteri adalah hak prerogatif dari presiden. Dia juga paham, jika tak mudah bagi Jokowi untuk mengakomodir seluruh elemen yang ada untuk ditunjuk sebagai menteri.
“Semua kan adalah hak prerogatif presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dan tentu Muhammadiyah melihatnya dari sisi kinerjanya saja. Nanti kita lihat sekarang kan kita tidak bisa spekulasi. Tidak mudah bagi presiden dan wakil presiden untuk mengakomodir berbagai kepentingan meskipun memang kalau saya melihat ada beberapa orang menurut saya di tempatkan bukan pada bidangnya,” kata Mukti melanjutkan.
Namun demikian, Mukti protes jika tidak diakomodirnya Muhammadiyah karena sosok Amien Rais yang sering mengkritik dan berseberangan dengan Jokowi saat pilpres lalu. Mukti menegaskan, jika kritik yang dilakukan Amien adalah dalam kapasitas sebagai Ketua MPP PAN, bukan tokoh Muhammadiyah.
“Harus diingat ketika Pak Amien menyampaikan kritik itu dalam kapasitas beliau sebagai tokoh parpol. Karena itu kita tidak bisa secara gegabah menyipulkan kritik Pak Amien sama dan dibangun dengan padangan dan aspirasi Muhammadiyah,” imbuhnya.
Mukti menegaskan bahwa selama berlangsungnya Pilpres 2014 posisi Muhammadiyah adalah netral tidak mendukung Jokowi atau Prabowo. Dia pun berpesan kepada Jokowi agar menjadi pemimpin yang tidak antikritik, sehingga dapat mengevaluasi kinerjanya dengan kritik yang datang tersebut.
“Kalau kritik itu baik kenapa harus antikritik. Kritik itu bagian dari sistem yang memang harus ada karena itu kalau nanti pada saat pemerintahan ini berjalan dan Muhammadiyah menyampaikan kritiknya apakah melalui pimpinan secara personal maupun pernyataan organisasi secara resmi tentu pemerintahan sekarang harus bersikap terbuka, arif dan bijaksana. Jangan kemudian berikan kekuatan untuk menjawab kritik itu,” tutur Mukti.
Mukti merasa tak masalah jika memang Jokowi tidak mengakomodir Muhammadiyah dalam kabinetnya saat ini. Akan tetapi dia mengingatkan, agar Jokowi nantinya bisa menanggung segala resiko yang ada. Sebab menurut dia, membangun Indonesia tidak bisa sendirian, apalagi Muhammadiyah organisasi yang turut serta membangun bangsa ini.
“Dengan tidak mengakomodir Muhammadiyah memang pemerintah menyiapkan diri saja dengan segala konsekuensinya. Apalagi pemerintah menyatakan program utamanya Indonesia pintar dan Indonesia sehat, tentu tidak seluruh program itu bisa dilaksanakan sendiri,” tuturnya.
“Sekolah paling besar itu Muhammadiyah, saya kira kalau kita lihat pelayanan kesehatan swasta yang paling besar juga Muhammadiyah. Kalau pemerintahan ini berfikir bagaimana membangun kemitraan yang konstruktif, mereka harus bangun kemitraan dengan organisasi yang menekuni bidang itu,” tambah Mukti.
Mukti menegaskan, Muhammadiyah akan mendukung program Jokowi yang pro rakyat, namun akan mengkritik kebijakan Jokowi yang merugikan rakyat.
“Pemerintah akan kehilangann kepercayaan jika Pak Jokowi hanya sibuk dengan slogan dan blusukan yang tidak substantif yang justru akan mengecewakan rakyat. Kita tunggu saja bagaimana pemerintahan ini bekerja, kita lihat bagaimana janji Pak Jokowi-JK itu mulai bisa dilaksanakan. Harapan kita negeri ini semakin baik,” pungkasnya. (ai)