bidik.co —Apel impor di pasaran terbukti lebih tahan lama dibanding apel lokal. Apel impor yang biasanya didatangkan dari Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Afrika bisa tahan 3 sampai 6 bulan tidak busuk. Sedangkan apel lokal dari Malang, 2 minggu saja sudah busuk. Kenapa?
Pengakuan pedagang di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, apel lokal dari Malang hanya tahan 2 minggu, itupun sudah lembek dan cenderung busuk. Sedangkan apel impor, masih segar dan mengkilap.
Di karton, tempat apel impor tersebut dibungkus, terdapat tulisan picking date yang berarti waktu memetik. Di salah satu dus tertulis Agustus 2014. Itu berarti, apel impor yang berasal dari Afrika itu sudah dipetik sejak 6 bulan lalu.
Sekretaris Umum Asosiasi Eksportir dan Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia Hendra Juwono menjelaskan, apel impor setelah dipetik dari perkebunan, disimpan dalam lemari pendingin dengan temperatur 0 derajat. Lemari pendingin hampa udara tersebut dikenal dengan nama storage control atmosphere (CA).
“Itu masih di negara asal. tu sama kayak kita kalau nggak ada oksigen itu mati. Apel itu tidur, kalau disimpan tanpa oksigen mereka bisa tahan sampai 9 bulan. Dengan CA, bisa sampai 9 bulan,” katanya, Rabu (28/1/2015).
Setelah dikeluarkan dari CA, apel tersebut bisa tahan paling lama hingga 3 bulan. “Kalau di atas 3 bulan itu mulai, yang tadinya garing jadi lembek. Istilahnya mulai proses pematangan buah,” tambahnya.
Dia pun membantah keras buah apel impor memakai pengawet hingga bisa tahan sampai berbulan-bulan. Ketahanan apel tersebut semata disebabkan karena pendingin CA tadi.
“Mustahil pakai pengawet. Kalau apel itu disuntik pengawet, begitu jarum masuk dia sudah pasti busuk,” tegasnya.
Lalu, kenapa apel impor terlihat lebih menarik, mengkilap dan bersih dibanding apel malang yang cenderung pucat?
“Kalau yang Batu (Malang) masalahnya processing nya nggak ada. Proses itu dari pencucian, dekomentaminasi. Jadi tak ada bakteri bebas bakteri dan tidak disimpan dengan pendingin yang Ca. Kalau Malang langsung petik, langsung jual,” tuturnya.
Proses dekontaminasi tersebut adalah proses pencucian menggunakan cairan pencuci anti bakteri khusus untuk buah-buahan. Proses itu semua menurut Hendra dilakukan di negara asal sebelum dikemas dan dikirim ke negara tujuan ekspor salah satunya ke Indonesia.
Selain itu, buah apel bisa mengkilap karena dilapisi oleh lilin. Lilin di sini menurutnya bukan lilin berbahaya, melainkan bee wax, atau cairan lilin yang dihasilkan dari sarang lebah, yang tidak berbahaya dan layak dikonsumsi.
“Lilin asli dari madu itu, bahan pengawet yang menahan tidak terkontaminasi oleh yang lain. Tapi kan itu bukan pengawet, hanya untuk penampilan lebih menarik dan tidak bahaya untuk manusia. Dasarnya. Kalau ada yang mengkilap sekali itu pakai beewax,” tutupnya.
Sementara itu, bebarapa waktu lalu pengamat pertanian, Khudori menilai, buah lokal jauh lebih segar dan padat gizi dibandingkan buah impor.
Namun, menurutnya, pasar buah Indonesia dibanjiri oleh buah-buahan luar negeri. Pemerintah perlu mengubah kebijakan untuk menggalakkan produksi dan konsumsi buah lokal.
“Apel Washington atau Fiji yang diimpor itu, sudah disimpan berbulan-bulan sebelum sampai ke Indonesia. Kandungan nutrisinya sudah sangat rendah. Saya bisa katakan ini produknya tidak lebih dari sampah,” kata Khudori dalam wawancara dengan Radio Nederland.
Beberapa waktu terakhir, di Indonesia muncul kritik terhadap impor buah-buahan segar ke Indonesia. Melimpahnya buah dari luar negeri menyebabkan rendahnya konsumsi buah lokal.
Dari segi potensi, menurut Khudori, tidak diragukan lagi Indonesia punya potensi yang sangat besar. “Misalnya salak, durian, jambu air dan pisang pun berbagai macam. Tapi, anehnya yang dikembangkan di sini bukan buah potensi lokal,” kata Khudori.
Menurut Khudori, produksi buah di Indonesia menghadapai berbagai masalah. Yang pertama, kurangnya perhatian pemerintah terhadap pertanian buah sehingga menyebabkan rendahnya tingkat produksi. “Buah yang dikembangkan oleh masyarakat masih dalam taraf kecil, belum dalam tingkat industrial,” ujarnya
Kedua, kualitas buah-buah lokal juga kurang memadai. Ini salah satunya disebabkan rendahnya kualitas penelitian untuk mengembangkan buah-buah lokal.
Rendahnya tingkat produksi dan kualitas menyebabkan buah lokal tidak bisa bersaing dengan buah-buah impor ketika perdagangan bebas diterapkan di Indonesia. “Buah-buah impor membanjiri pasar, tidak hanya supermarket tapi juga pasar-pasar becek,” jelas Khudori.
Buah-buah impor terlihat lebih cantik dan kemasannya lebih menarik, misalnya apel dari Jepang atau Amerika. Namun demikian, menurut Khudori, kandungan gizi apel impor itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan apel lokal, misalnya Apel Malang.
“Apel malang itu memang lebih keras dan asam. Tapi, itu justru menunjukkan mereka masih segar,” jelas Khudori. Sedangkan apel-apel yang berasal dari luar negeri biasanya sudah disimpan dulu selama beberapa bulan sebelum akhirnya di ekspor.
Ini karena di negara-negara itu apel hanya diproduksi pada satu musim saja. “Jadi, untuk bisa dikonsumsi sepanjang tahun buah-buah itu harus disimpan dan saat diekspor kualitasnya sudah sangat rendah.”
Menurut Khudori perlu dilakukan kampanye terhadap para konsumen tentang keuntungan memakan buah lokal yang jauh lebih sehat dibandingkan dengan buah impor. “Tidak semua buah impor yang kelihatan cantik dan dikemas manis secara otomatis gizinya juga bagus.” (*)