Oleh: Agus Ismanto
bidik.co — Sudah semestinya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.
Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.
Menurut filosof Muslim al-Kindi, kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia di dunia. Tujuan akhir manusia bagi al-Kindi bukan memperkaya diri, tapi mencari kebijaksanaan, kedamaian, dan ketenangan. Jika hanya mencari kekayaan, maka kehidupan akan membawa manusia pada kesengsaraan dan kesusahan.
Karena itu, filosof Muslim yang hidup di Abad ke-9 Masehi ini menilai, manusia yang bijaksana akan selalu mengejar keadilan untuk keseimbangan hatinya dengan tujuan menahan dan mengontrol hasrat serta hawa nafsu. Sebab, hawa nafus yang tanpa kontrol itulah yang nantinya akan membawa pada kesedihan tak berkesudahan.
Apa yang dimaksud politik, menurut al-Kindi adalah konsep kebahagiaan. Berangkat dari pemikiran tentang kebahagiaan, maka hakikat politik bagi al-Kindi adalah menghadirkan kebahagiaan kepada orang lain. Dalam konteks negara bisa diartikan sebagai usaha pemimpin dalam menghadirkan kebahagiaan untuk rakyatnya.
Kebahagiaan rakyat bisa disamakan dengan kesejahteraan dan rasa aman. Maka di sinilah bahwa politik bukanlah suatu usaha untuk memperebutkan tahta dan jabatan serta pengakuan. Selain itu, keadilan diposisikan sebagai cara untuk memberi keseimbangan. Bagi al-Kindi, kekuatan terbesar manusia adalah kekuatan jiwanya, yakni saat manusia mampu mengekang hasrat hawa nafsu dan kemarahannya.
Tampaknya pikiran al-Kindi ini sangat tepat untuk melihat kondisi politik Indonesia saat ini. Dalam kasus perebutan kekuasaan terhadap partai politik dan organisasi masa, merupakan contoh betapa rendahnya etika yang dimiliki oleh politisi dan aktivis.
Konsep politik al-Kindi relevan untuk dipraktikkan, meskipun terkesan utopis namun sangat penting untuk menjadi panduan dalam berperilaku politik. Apalagi masalah cukup serius yang sedang dihadapi Indonesia seperti kemiskinan dan tindakan kriminal yang merajalela adalah cerminan negara yang tidak bahagia. Rakyat sama sekali belum bahagia atau sejahtera.
Maka dari itu, para elit pemerintahan sebaiknya kembali kepada hakikat politik. Dalam filsafat politik al-Kindi, pemimpin mestinya menghadirkan kebahagiaan, bukan saling rebut kekuasaan dan jabatan serta saling menjatuhkan satu sama lainya. Sebab, tujuan akhir politik adalah menyejahterakan dan menenteramkan kehidupan rakyatnya.
Tidak hanya itu, ajaran-ajaran etika dan moral yang dikemukakan al-Kindi bisa menjadi pemelihara dan pengobat ruhani jiwa-jiwa manusia yang sakit. Anjurannya untuk menemukan kembali esensi manusia sebagai makhluk susila bisa membantu manusia menemukan kembali kebahagiaan hakiki yang telah hilang.
Jika menengok dari negara-negara yang begitu kuat memegang etika dalam memegang kekuasaan, semestinya Indonesia dapat belajar dari negara-negara tersebut.
Kita menemukan beberapa kasus di negara lain seperti Jepang dan Selandia Baru. Di Indonesia sangat jarang terjadi. Bahkan menteri yang berhenti karena terbukti korupsi, bukan karena mengundurkan diri.
Di beberapa negara yang politiknya lebih beretika, kita temukan seorang menteri yang mengundurkan diri secara resmi setelah mengetahui ada polemik di kementeriannya, yang menyeret anak buahnya karena dugaan korupsi. Adanya dugaan korupsi sudah membuat malu, apalagi dengan terjadinya korupsi.
Di Indonesia, menteri yang malu karena anak buahnya korupsi justru dinilai “mengotori” nama baik kementerian. Bagaimana tidak, karena kultur politik kita terlalu komunal dan impersonal. Satu sama lain kenal dan sangat akrab. Mungkin menterinya sungkan menolak apa kata teman, sehingga terjadi sogok-menyogok yang merugikan keuangan negara.
Dari kejadian-kejadian tersebut, semestinya dapat kita kembalikan pada pikiran al-Kindi bahwa segala tindakan politik haruslah digantungkan pada dasar-dasar etika. Dengan etika politik memungkinkan adanya arah untuk mewujudkan kebahagiaan orang lain (rakyat). Semoga. (*)
Penulis adalah penikmat dan pencita kehidupan beretika.