bidik.co — Gejolak politik yang terjadi di tanah air memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi pasar. Analis memprediksi kondisi akan terus memburuk, jika tidak ada perubahan. Situasi yang penuh dengan ketidakpastian ini menghambat investor yang berinvestasi dengan alasan menunggu suasana politik stabil.
Pasca pemilihan presiden (pilpres) dinamika politik nasiona terus terjadi. Mulai dari gugatan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), sampai perebutan kursi-kursi di parlemen.
Kegaduhan politik ini menjadi sentimen negatif bagi para pelaku ekonomi. Dikhawatirkan, nantinya kebijakan pemerintahan baru pimpinan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) akan terganjal.
Kecemasan pelaku pasar sudah tercermin dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus dalam tren melemah. Dolar AS kini sudah menembus level Rp 12.200.
“Mata uang emerging markets (negara berkembang) lainnya memang juga melemah. Namun rupiah bisa dibilang sudah terlalu murah, jauh dari fundamentalnya yang di kisaran Rp 11.700 per dolar AS,” kata David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), kepada detikFinance, Selasa (7/10/2014).
Menurut catatan David, dalam 2 pekan terakhir rupiah sudah melemah sekitar 4%. “Kita termasuk yang melemah tajam,” ujarnya.
Selain faktor global yaitu potensi kenaikan suku bunga AS, lanjut David, kegaduhan politik juga mempengaruhi persepsi investor. “Dalam jangka pendek, faktor politik ini memang jadi perhatian investor,” tuturnya.
Kegaduhan politik ini, tambah David, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan investor global agak menjauhi Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Dia menyebutkan, arus modal masuk (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia terus menurun dalam 3 bulan ini.
“Capital inflow pada Juli masih Rp 26 triliun. Kemudian Agustus turun jadi Rp 14 triliun, dan September turun lagi jadi Rp 6 triliun. Investor khawatir kegaduhan politik ini bisa mengganggu stabilitas pemerintahan Pak Jokowi,” paparnya.
Oleh karena itu, David memperkirakan dalam jangka pendek dolar AS masih akan diperdagangkan di kisaran Rp 12.100-12.200. Cukup jauh dari titik fundamentalnya, sentimen negatiflah yang menyebabkan rupiah bisa terus melemah.
Sebaliknya pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menyebut kegaduhan politik diatur untuk seolah membuat investor ketakutan. Padahal, menurut Enny, hal tersebut tidak terjadi sama sekali dan hanya dijadikan alat untuk menarik perhatian Jokowi agar pro pasar. Selama ini investor terlalu nyaman dengan kebijakan SBY yang sangat pro pasar dan investasi.
“Kegaduhan pasar disebut dampaknya negatif. Ini agar kabinet Jokowi mengakomodir agar mereka pro pasar. Jangan termakan isu, mereka takut karena Jokowi pro rakyat dengan ekonomi kerakyatan. Mereka ingin diakomodir ke pro pasar karena memang Jokowi-Jk kebijakan mereka mengacu pada kerakyatan,” ucap Enny di Jakarta, Senin (6/10).
Enny menyebut, kegaduhan politik di Indonesia tidak separah yang dibayangkan. Kegaduhan politik seperti ini sudah kerap terjadi Indonesia.
“Politisi itu hari ini bilang tempe satu jam lagi jadi kedelai itu biasa. Jangan samakan peta perpolitikan Indonesia dengan Timur Tengah,” tegasnya.
Namun demikian, yang menjadi kegelisahan investor seharusnya adalah kabinet susunan Jokowi-JK. Susunan kabinet akan sangat berpengaruh arah kebijakan perekonomian dan fundamental Indonesia secara keseluruhan.
“Tidak ada yang harus dikhawatirkan (masalah politik), tidak masalah asal kebijakan prudent dan pro rakyat. Pasar gampang sekali mencari income, mereka net selling dengan menggunakan kegaduhan, isu isu politik. Harusnya mereka melihat susunan kabinet,” tegasnya. (ai)