bidik.co — Dentuman yang didengar oleh Rahmat (44), nelayan yang melaut di sekitar Pulau Senggaro rupanya bertautan dengan saksi lain. Adalah Hartono (36) yang juga nelayan dan melihat detik-detik AirAsia QZ8501 menghilang.
Sama seperti Rahmat, Hartono melaut di hari Minggu (28/12/2014) kelabu itu. Saat itu cuaca sangat buruk menurut penuturan Hartono yang melaut di Tanjung Pandan.
“Ombak sangat tinggi. Saya tidak berani terus melaut dan memilih ke pulau. Waktu lihat matahari baru terbit, saya lihat ada pesawat terbang rendah. Jadi kelihatan besar sekali ke arah Tanjung Puting,” ungkap Hartono pada sebuah dermaga di Pelabuhan Panglima Utar, Kumai, Kalimantan Tengah, Rabu (31/12/2014).
Tak heran jika hanya pesawat terbang saja, bagi Hartono di wilayah ini sudah banyak pesawat melintas. Meski kali itu dia melihat pesawat yang terbang lebih rendah.
“Agak lama saya lihat, itu kok agak miring ke kiri pesawatnya. Habis itu dia belok ke kiri malah ke arah laut,” imbuh dia.
Padahal pesawat yang biasa melintas itu biasanya lurus. Tapi apalah dia bagi dirinya, Hartono berpikir nelayan hanya mengerti urusan angkat jaring saja.
“Setelah itu awan makin gelap, semua kabut, dan hujan deras. Pesawat itu hilang ke dalam kabut dan saya tidak lihat lagi,” tutur bapak tiga anak ini.
Tak terlintas dalam benak dia bahwa itu adalah pesawat yang akan dicari-cari. Hanya hujan reda saja yang dinantinya untuk kemudian meneruskan upaya menafkahi keluarga yang tinggal di Pantai Umang.
“Besok hari (Senin) saya pulang. Saya tonton berita dan rupanya pesawat yang saya lihat itulah AirAsia. Tidak lama kemudian petugas datang dan bertanya-tanya ke saya yang kebetulan jadi saksi,” pungkas dia.
Sebelumnya, Rahmat (44) mengungkap kesaksiannya tentang AirAsia QZ8501, senja menjemput di Pelabuhan Panglima Utar, Kumai, Kalimantan Tengah. Saat ratusan burung walet beterbangan saling melempar sinyal agar tak bertabrakan.
Pukul 07.00 WIB di hari Minggu (28/12/2014) dia mendengar dentuman keras saat melaut di sekitar Pulau Senggaro. Kabut pun menyelimuti dan sesaat kemudian Rahmat tak menyadari dari mana asal dentuman itu.
“Saya tidak tahu sama sekali kalau itu pesawat. Makanya saya tidak langsung lapor ke mana-mana dan terus melaut,” tutur Rahmat jelang malam di pelabuhan itu, Rabu (31/12/2014).
Keesokan harinya dengan tangan hampa tanpa hasil laut, Rahmat kembali ke rumahnya. Di situ Mislawati (34), istrinya, sudah menanti.
Kaget bukan kepalang dirinya mendengar berita kalau ada pesawat hilang kontak.Teringat dia akan peristiwa dentuman dan langsung melapor Lurah.
Laporannya itu berlanjut ke Basarnas di Lanud Iskandar Pangkalan Bun. Dia kemudian memberitahukan arahan di mana dentuman berasal.
“Kalau saja waktu saya mendengar dentuman itu ada yang percaya sama saya, mungkin saya langsung lapor. Tapi teman-teman waktu itu mengaku tidak dengar apa-apa jadi saya tidak lapor,” ungkap Rahmat.
Demi mempertanggungjawabkan kesaksian itu, hingga kini Rahmat rela tak melaut. Padahal penghasilan dari melaut tak menentu, hanya seratus hingga dua ratus ribu rupiah dalam beberapa hari melaut. “Kita bantu selesaikan ini dulu,” ucap dia yang duduk di dermaga.
“Saya masih berharap ada yang selamat. Walau pun kemungkinan kecil, tapi harapan pasti ada,” ucap Rahmat sambil menatap lautan. (*)