bidik.co — Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) mendedah pasal-pasal yang menjadi polemik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR. Dia menjelaskan sejumlah pasal yang bakal dihilangkan lewat kesepakatan yang baru saja dijalani KIH dan KMP di rumahnya. Namun sementara pihak KIH yang diwakili Pramono Anung masih belum mau mengungkap pasal-pasal mana yang bakal dihilangkan dari UU MD3.
Usai pertemuan antara KMP dan KIH di rumahnya, Perumahan Golf Mansion Nomor 25-26, kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (15/11/2014), Hatta yang berkemeja batik bermotif biru ini bersedia menjelaskan soal UU MD3 yang bakal disempurnakan.
Sambil membolak-balik buku kecil berisi UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3), Hatta menyatakan pasal dan ayat yang memuat redundansi (pengulangan) dari ayat-ayat lainnya akan dihapuskan atau direvisi.
“Hak interpelasi yang sudah diatur dalam Pasal 79, 194 sampai 227 (UU MD3) cukuplah di situ. Tidak perlu diatur di tempat (pasal) yang lain, karena bisa redundant dan bisa menimbulkan degradasi, dan sebagainya,” kata Hatta.
Pasal 79, 194, sampai 227 UU MD3 ini akan menjadi ‘Pasal Babon’ yang mengatur hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Tentu saja UUD 1945 menjadi pijakannya. Berikut adalah bunyi Pasal 79, 194, sampai 227 UU MD3:
Hak DPR
Pasal 79
(1) DPR mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 194 hingga Pasal 227 mengatur secara detil soal hak interpelasi itu. Misalnya Pasal 194 yang mengatur interpelasi bisa dilakukan lewat usulan 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Asalkan, sidang paripurna sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi menyepakati interpelasi itu.
“Interpelasi setiap saat dewan kalau mau mengajukan, 25 orang bisa. Namun apakah itu mau jadi keputusan dewan atau tidak, ya paripurna yang menentukan,” kata Hatta.
Hak angket diatur dalam Pasal 199. Hak menyatakan pendapat diatur dalam Pasal 210. Hak pengawasan diatur dalam Pasal 227.
“Coba bayangkan mengaturnya luar biasa,” kata Hatta sambil membolak-balik halaman yang memuat Pasal 79, 194, sampai 227 dalam buku saku berisi UU MD3 itu.
Tiba saatnya mendedah pasal-pasal bermasalah yang mengatur hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang bisa dikeluarkan Komisi DPR untuk mengganti menteri. Pasal itu adalah Pasal 98 ayat 6, 7, dan 8.
“Nah sekarang di Pasal 98 (ayat 6): keputusan dan atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat wajib dilaksanakan pemerintah. Tadinya ini diusulkan dihapuskan. Tapi ini kita pertahankan. Karena memang harus mengikat dan harus dilaksanakan. Masa mengikat dan tidak harus dilaksanakan? Dilaksanakan,” tutur Hatta, masih sambil memegang buku saku itu.
Ayat 6 dari Pasal 98 itu tidak akan dihilangkan meski KIH meminta. Namun ayat 7 dari Pasal 98 itu bakal dihapus. Ini karena ayat 7 Pasal 98 dinilai mengulang dan mendegradasi pengaturan hak interpelasi yang sudah diatur dalam ‘Pasal Babon’ seperti yang sudah disebutkan di atas.
“Tapi di sini (Pasal 98 ayat 7) ada kata-kata dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban, maka mengusulkan penggunaan hak interpelasi. Interpelasi ini bicara di Komisi. Padahal interpelasi sudah diatur (dalam ‘Pasal Babon’). Tanpa ada inipun Dewan bisa mengajukan hak interpelasi. Jadi ini semacam mendegradasi yang sudah ada tadi itu,” kata Hatta.
Lalu bagaimana dengan Pasal 98 Ayat 8 UU MD3? Berikut adalah bunyinya:
(8) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Hatta menyatakan penjatuhan sanksi kepada pejabat negara dan pejabat pemerintahan, termasuk menteri, adalah hak prerogatif presiden meski DPR bisa meminta. Hak prerogatif Presiden akan tetap dijaga.
“Hak prerogatif Presiden untuk mengangkat menterinya. Kalau menterinya tidak ‘perform (kinerja tak memuaskan)’, ya tentu Presiden akan mengambil tindakan bukan atas tekanan permintaan,” tutur Hatta.
Hatta mengiyakan saat ditanya akankah pengaturan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat dalam UU MD3 ini akan dikembalikan seperti sediakala sebelum revisi terakhir. “Iya betul seperti kemarin (sebelum revisi),” jawabnya.
Masih ada satu Pasal lagi yang tersisa, yakni Pasal 74 UU MD3. Berikut adalah bunyinya:
Pasal 74
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
(4) Dalam hal pejabat negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
(5) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.
(6) Dalam hal badan hukum atau warga negara mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.
Apa Pasal 74 itu juga dihapus? “Redundant, pengulangan. Pasal 74 itu mengulang. Ya dihilangkan, dong, namanya mengulang,” jawab Hatta.
Kesimpulannya, kesepakatan terakhir antara KMP dengan KIH soal pengaturan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat itu akan menghapus sejumlah Pasal dan ayat. Yang akan dihapus adalah Pasal 74 dan Pasal 98 ayat 7. Sementara, Pasal 98 ayat 8 sendiri masih belum terlalu jelas akankah dihapus, atau malah dipertahankan seperti Pasal 98 ayat 6.
Pramono Anung yang menjadi Juru Lobi KIH sendiri tak mau memaparkan pasal-pasal mana saja yang bakal direvisi atau dihilangkan. Politisi PDIP itu mengimbau agar publik melihat apa yang terjadi Senin (17/11) besok. Namun, dihubungi terpisah, Wasekjen PDIP Achmad Basarah menyatakan soal pasal mana saja yang akan dihilangkan.
“Hanya Pasal 74 dan 98 Ayat 6,7 dan 8,” kata Basarah. (*)