bidik.co — Di tengah tekanan agar Indonesia membatalkan rencana eksekusi dua warga Australia karena kasus narkotika, pemerintah perlu menyatakan hukuman mati tidak ditujukan untuk menyakiti hati Australia.
Hal itu disampaikan oleh mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia, Wiryono Sastrohandoyo mengomentari pernyataan Tony Abbot.
Perdana menteri Australia pada Rabu (18/2/2015) mengatakan ia akan merasa “sangat kecewa” jika Indonesia mengabaikan permintaan agar dua narapidana mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, diberikan pengampunan. Abbot lalu meminta Indonesia mengingat bantuan Australia untuk bencana tsunami di Aceh pada 2004.
Meskipun ditekan bertubi-tubi, Indonesia tetap harus melakukan eksekusi sebab grasi telah ditolak.
“Saya kira pemerintah Indonesia tidak bisa lain daripada meneruskan.”
“Tetapi saya kira juga ada perlunya pemerintah Indonesia menyatakan bahwa penjatuhan hukuman mati atau penolakan grasi itu bukanlah sesuatu yang ditujukan untuk menyakiti hati Australia, tapi semata-mata untuk menimbulkan efek jera kepada para penyelundup,” kata Wiryono.
Wiryono Sastrohandoyo sendiri adalah duta besar Indonesia yang meneken konvensi narkoba di Wina tahun 1989.
“Saya ingat betul bahwa pada waktu menandatangani itu saya mengatakan bahwa di Indonesia masalah narkoba belum ada karena orang yang di rumah sakit karena narkoba bisa dihitung dengan jari. Tapi sekarang sudah jutaan,” terang Wiryono dalam wawancara telepon dengan wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Ia juga berpendapat pernyataan PM Tony Abbot akan memperkeruh atmosfir hubungan kedua negara dan berpotensi merugikan Australia sendiri.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir mengatakan pernyataan PM Australia Tony Abbot, yang mengaitkan bantuan tsunami dengan rencana eksekusi dua warganya, diharapkan tidak mencerminkan “warna asli” Australia.
Menurut Wiryono Sastrohandoyo, Abbot dan pemerintah sama-sama berkepentingan untuk tampak tegas. Awal bulan ini Abbot lolos dari mosi tidak percaya.
“Karena belakangan dia juga keteter dan pada waktu minggu yang lalu dia survive (lolos) dari kemungkinan mosi tidak percaya di partainya dengan sedikit susah payah.
“Di Indonesia juga ada kebutuhan untuk tampak tegas dalam menghadapi tekanan luar negeri,” jelasnya.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menerangkan bahwa pelaksanaan hukuman mati sepenuhnya menyangkut penegakan hukum dan berbagai tekanan tidak akan mengubah rencana eksekusi.
Selain dua warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, terdapat beberapa warga asing yang juga menghadapi eksekusi karena masalah narkoba.
Sementara menghadapi ancaman Australia, RI diminta meniru ketegasan Singapura dalam mengeksekusi warga negara asing yang tersangkut kasus narkoba. Sebab Singapura menolak segala bentuk pengampunan, meski ada intervensi dan ancama negara lain.
Pakar hukum internasional Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad), Atip Latipulhayat mengatakan ancaman yang sama pernah diterima Singapura saat akan mengeksekusi warga negara Australia.
“Saya teringat sekitar tahun 2005-an, ketika itu saya mengambil doktoral di Australia. Saat itu ada WN Australia yang akan dieksekusi mati oleh Singapura karena kasus narkoba. Pemerintah Australia melakukan berbagai macam usaha untuk mencegahnya. Termasuk memboikot Singapura Air Lines,” ujar Atip, di Jakarta, Minggu (22/2/2015).
Menurutnya, ancama yang diterima Indonesia dari Australia sama seperti kepada Singapura saat itu. Namun Singapura saat itu memilih tak menggubris ancaman Australia dan tetap mengeksekusi warga negara asing tersebut karena kasus narkoba.
“Dan tidak ada efek bagi Singapura itu ancaman. Saya menyaksikan sendiri ketika itu, warga Australia sendiri tidak mempermasalahkannya, karena memahami kedaulatan hukum sebuah negara. Jadi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Australia tidak lebih ingin unjuk gigi membela warganya. Ia ingin cari muka. Karena itu adalah hal biasa,” katanya.
Atip menjelaskan, upaya pihak Australia yang ingin menyelamatkan warga negaranya dari hukuman mati adalah hal yang pasti dilakukan semua negara termasuk Indonesia. Sebab Indonesia juga pernah menghadapi hal ini dimana harus menggunakan jalur diplomatik untuk menyelamatkan warga negaranya. Namun semuanya tunduk kepada keaulatan negara yang menerapakan hukum tersebut.
“Tetapi terkait dengan sistem hukum yang harus dihormati. Sebagaimana juga ketika ada warga Indonesia yang dihukum mati di negara lain, maka pemerintah Indonesia berhak mengupayakan diberikan ampunan terhadapnya. Karena itu upaya-upaya dari negara adalah hal biasa dengan tetap harus menghormati kedaulatan hukum sebuah negara,” katanya.(*)