Home / Politik / Jimly: Sudah Dibatalkan MK, Frasa Empat Pilar Kebangsaan Jangan Digunakan Lagi

Jimly: Sudah Dibatalkan MK, Frasa Empat Pilar Kebangsaan Jangan Digunakan Lagi

bidik.co — Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie kembali menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”, sehingga perlu menjadi perhatian semua pihak.

“Jadi saya harapkan putusan MK tentang pembatalan frasa empat pilar harus kita jadikan pegangan,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Minggu (17/5/2015).

Dengan demikian, kata dia, tidak perlu ada perdebatan lagi mengenai frasa empat pilar. Dan dia juga menyarankan agar MPR tidak lagi menyosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Pancasila jangan lagi ditempatkan sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa bernegara. Karena Pancasila adalah filosofi berbangsa, dasar negara, saran saya kegiatan sosialisasi diganti saja dengan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat dan pengkajian. Karena sosialisasi itu kegiatan eksekutif atau pemerintah,” katanya.

Dia menambahkan, dengan penyebutan sebagai pilar, seolah-olah dianggap setara dengan yang lain dan pada akhirnya menimbulkan salah faham di masyarakat.

Seharusnya, kata dia, MPR menghormati putusan MK dalam Amar Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 yang membatalkan Frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terkait Pancasila pilar kebangsaan.

Sebelumnya, pada acara Membumikan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara; PascaPutusan MK, yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan dan Kajian Ulul Albab Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Jimly mengatakan, program sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh MPR harus mempertimbangkan putusan MK dan sebaiknya tidak diteruskan.

Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 seharusnya menjadi era untuk menemukan kembali tafsir Pancasila yang benar sesuai prinsip demokrasi.

“Teks Pancasila sebagai ideologi negara tetap sama sejak 1945, tetapi tafsirnya harus senantiasa kontekstual, sesuai dengan jiwa dan spirit demokrasi yang berkembang, baik di Indonesia maupun di belahan negara lain di dunia,” katanya.

Demokrasi dan Pancasila kata dia, tidak bisa dipisahkan karena tanpa demokrasi maka pancasila tak mungkin bertahan sebagai ideologi bangsa.

Sebelumnya, Ketua Badan Sosialisasi MPR, Ahmad Basarah mengatakan banyak masalah kebangsaan yang bermunculan karena masyarakat meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, dia memandang penting kegiatan sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Saat menjadi narasumber dalam acara Lunch Talk di salah satu Stasiun TV Berita Nasional di Jakarta, Rabu (5/3/2015), Basarah mengatakan MPR periode 2014-2019 melakukan rebranding kegiatan sosialisasi ‘4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ menjadi ‘Sosialisasi 4 Pilar MPR RI’.

Menurutnya, tidak ada subtansi yang berubah dalam materi sosialisasi ini. MPR tetap menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara dan Ketetapan MPR, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Penggunaan istilah ‘Sosialisasi 4 Pilar MPR RI’ sendiri telah dikonsultasikan dan mendapat persetujuan MK. Adanya pihak yang mempersoalkan istilah ini karena bertentangan dengan konstitusi, menurut Basarah terjadi karena persoalan semantik dan kebahasaan.

Lepas dari polemik masalah penggunaan istilah, Basarah menegaskan bahwa lebih penting untuk segera mensosialisasikan 4 pilar ini kepada masyarakat. Sebab menurutnya dalam era reformasi ini tumbuh subur sikap individualisme dan Pancasila yang semakin terpinggirkan.

“Pada era Orde Baru, segala tindakan yang dilakukan untuk mengkritisi pemerintah disebut anti Pancasila. Sehingga ketika Orde Baru tumbang, Pancasila seolah-olah dijadikan sebuah kesalahan sehingga semua hal yang berbau Pancasila semuanya dihapus, seperti BP7 dihapus, mata pelajaran PMP juga dihapus. Pancasila di awal reformasi dipinggirkan,” ujar dia.

Diakui Basarah, dalam melakukan sosialisasi seharusnya Presiden (eksekutif) dengan membentuk badan bertugas mengkoordinir sosialisasi. Namun adanya UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka MPR diberi tugas untuk melaksanakan sosialisasi.

Meskipun MPR yang diberikan mandat, Basarah mengatakan tetap dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk lembaga negara lain. “Untuk itu kami melakukan kerja sama dengan berbagai pihak,” kata Basarah.

Kerja sama yang sudah dilakukan oleh MPR dengan pihak lain disebutkan dengan Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, dan PGRI. Dalam waktu dekat akan melakukan kerja sama dengan MK. (*)

Komentar

Komentar

Check Also

Sri Meliyana: PPN 12% Adalah Amanat Undang-undang!

Bidik.co — Lahat – Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Asal Daerah Pemilihan Sumatera Selatan II, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.