bidik.co — Hidup pria ini sungguh sederhana. Rumahnya di tengah peternakan bobrok. Baju-baju yang habis dicuci tergantung tak karuan di halaman berumput liar. Hanya dua polisi yang berjaga yang menandakan pria itu orang penting. Selain juga Manuela, anjing berkaki tiga yang setia.
Inilah Presiden Uruguay, Jose Mujica. Gaya hidupnya memang tak seperti politisi kebanyakan. Apalagi pemimpin negara-negara lain yang lebih senang hidup bermewah-mewah. Yang tentu saja menghabiskan berjuta bahkan bermiliar uang negara.
Mujica memang beda dengan pemimpin negara lainnya. Dia menolak rumah dinas yang disediakan negara. Padahal rumah pemerintah itu tergolong mewah, yang jelas nyaman untuk hidup sebagai presiden. Tapi dia malah memilih tinggal di rumah istrinya yang hanya berjalan tanah di luar ibukota Uruguay, Montevideo.
Bersama istrinya, Mujica mengerjakan tanah mereka sendiri. Bunga-bunga tumbuh di pekarangan rumah sederhana. Air yang mereka gunakan sehari-hari pun berasal dari sumur di halaman. Bukan air pasokan perusahaan air minum seperti di kota-kota.
Mujica mungkin tergolong manusia langka. Sudah memikirkan negara, dia tak mau menerima gajinya secara penuh. Dia malah menyumbangkan 90 persen dari gaji bulanannya, atau sekitar Rp 138.972.000, untuk amal-amal. Karena gaya hidup inilah dia mendapat julukan presiden termiskin di dunia.
“Saya mungkin terlihat seperti pria tua yang eksentrik. Tapi inilah pilihan,” kata Mujica dikutip Dream dari laman BBC, Sabtu 12 Juni 2014.
“Saya sudah hidup seperti ini hampir seluruh hidup saya. Saya bisa hidup dengan apa yang saya punya,” kata dia sambil duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.
Dengan hanya menerima 10 persen gaji, berarti per bulan Mujica hanya menerima penghasilan sekitar Rp 8,9 juta saja. Jumlah tersebut sama dengan rata-rata penghasilan warga Uruguay. Sementara yang 90 persen dia dermakan untuk pengusaha keciol dan fakir miskin.
Laporan harta kekayaan pejabat negara Mujica empat tahun silam (2010) hanya sekitar Rp 20,8 juta. Harta itu merupakan nilai dari mobil tua miliknya, Volkswagen Beetle keluaran 1987. Pada tahun ini, dia menambahkan setengah dari aset istrinya dalam laporan harta pejabat negara. Harta itu berupa tanah, traktor, dan rumah yang nilainya mencapai Rp 2,4 miliar.
Jumlah itu tidaklah banyak untuk ukuran pejabat Uruguay. Kekayaan Mujica hanya dua pertiga harta Wakil Presiden Danilo Astori dan hanya sepertiga dari kekayaan mantan Presiden Tabare Vasquez.
Keunikan Jose Mujica, menjadikan sutradara asal Serbia, Emir Kusturica, berencana membuat film dokumenter mengenai sosok mantan presiden Uruguay yang eksentrik itu. Dengan proyek dokumenter terbarunya, Kusturica berharap bisa mempersembahkan sebuah cara baru dalam berpolitik, menampilkan “presiden termiskin di dunia” dalam sinema.
Bagi sutradara peraih dua penghargaan Palme d’Or di Cannes Film Festival itu, sosok Mujica memang memesona. Di akhir masa jabatannya pekan lalu, rakyat Uruguay turun ke jalan untuk mengucapkan terima kasih kepada presiden yang tak segan mengendarai VW kodoknya itu seorang diri. Kusturica melihat Mujica begitu dicintai rakyatnya.
“Tidak ada negara di dunia, bahkan dengan demokrasi yang telah maju, saat presiden meninggalkan kantor kepresidenan rakyat menyambutnya dan memperlihatkan kalau dia begitu dicintai,” tutur Kusturica dilansir dari AFP, Sabtu (7/3/2015).
Ketika berada di pucuk kekuasaan, Mujica pun berani membuat beragam kebijakan kontroversial namum populis. Di antaranya, dia melegalisasi ganja, tidak melarang aborsi dan mengizinkan pernikahan gay.
Keseharian Mujica yang ditemani anjingnya yang berkaki tiga dan mengurus sendiri lahan pertanian bersama istrinya menjadikan Kusturica terinspirasi untuk menamakan filmnya The Last Hero, sebuah kisah kepahlawanan di era modern.
Mujica adalah mantan anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba. Dia pernah enam kali tertembak dan mendekam 14 tahun di penjara. Sebagian besar masa penahanannya dilalui dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam sel isolasi.
Masa-masa saat berada dalam penjara itulah yang menurut Mujica membentuk kepribadian dan pandangan hidupnya. Saat menjadi presiden, Mujica punya alasan untuk tetap setia dengan kehidupannya yang sederhana.
“Banyak presiden menghabiskan sebagian hidupnya di penjara, berusaha lari dan bersembunyi, kemudian menjadi kaya saat menjabat. Ini sekaligus meyakinkan orang-orang mengenai alasan untuk menjadi politisi. Karena mereka ingin menjadi kaya,” tutur Kusturica.
Bagi sutradara film Underground (1995), Mujica menjadi contoh evolusi karakter yang paripurna: Seorang pejuang gerilya di tahun ’60an dan ’70an, ditangkap dan menjadi tahanan politik, kemudian menjadi presiden sederhana yang dicintai rakyatnya.
Kini, Mujica telah menjadi sahabat baru bagi Kusturica. Mujica sendiri yang menjadikannya sebagai seorang sahabat. Dengan demikian, jarak seorang pengagum dengan yang dikagumi pun berangsur sirna.
“Saat saya bertamu ke rumahnya, dia mengatakan, ‘Ayo kawan, mari bersulang!” ujar Kusturica.
Jose Mujica bukan sosok unik pertama yang menjadi sorotan kamera Kusturica. Sebelumnya, Kusturica pernah membuat dokumenter mengenai legenda sepak bola Argentina, Diego Maradona, dalam dokumenter berjudul Maradona (2008).
Tentu saja tidak hanya Jose Mujica, beberapa pemimpin dunia layak dijadikan teladan. Mereka tidak hanya berkoar soal rendah hati dan hidup sederhana, tetapi juga memberikan contoh langsung kepada penduduknya. Ahmadinejad, dan mendiang Nelson Mandela adalah beberapa di antaranya.
Mahmoud Ahmadinejad, tepatnya mantan pemimpin dunia, yang identik dengan kesederhanaan. Mantan presiden Iran itu memang dikenal sebagai sosok yang sederhana. Seperti Presiden Uruguay Jose Mujica, pria 58 tahun tersebut pun tidak mempunyai mobil mewah.
Sampai menjabat presiden pada 2005, dia tetap tinggal di rumah sederhananya di Kota Narmak. Padahal, sebelum menjadi presiden Iran, dia juga beberapa kali duduk di posisi penting pemerintahan. Kali terakhir sebelum menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Iran, dia menjabat wali kota Teheran. Saat itu dia menolak tinggal di rumah dinas yang dijuluki sebagai istana wali kota.
”Mahmoud Ahmadinejad sengaja memunculkan citra dirinya sebagai presiden miskin, pria tanpa sepeser uang pun di dompet,” tulis harian Asharq Alawsat. Bapak tiga anak itu juga mengendarai mobil pribadinya yang bukan mobil keluaran terbaru. Peugeot 504 yang setia menemani Ahmadinejad masuk kategori mobil tua karena diproduksi pada 1977.
Semasa menjabat presiden, Ahmadinejad jarang memakai jas. Dalam beberapa forum internasional, dia memilih mengenakan jaket. Kebetulan, jaket yang sering dia pakai dalam kunjungan-kunjungan resmi di dalam dan luar negeri tersebut memiliki model dan bentuk mirip jas. Tetapi, kadang-kadang, dia juga memakai setelan bermerek atau pakaian keluaran butik.
Tidak hanya tampil sebagai presiden sederhana, Ahmadinejad juga memperjuangkan hak-hak kaum papa. Salah satunya, hak memenuhi kebutuhan papan. Ahmadinejad meluncurkan program rumah murah bagi rakyat Iran. Sayangnya, tidak semua pejabat mendukungnya. Akibatnya, meski pembangunan terus berjalan, fasilitas penting bagi perumahan murah itu tidak ada. Misalnya, air dan gas.
Sosok sederhana yang melekat pada diri mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad atau Presiden Uruguay Jose Mujica juga tampak pada diri Nelson Mandela. Meski tokoh anti-apartheid itu telah meninggal dunia, kesederhanaan dan kerendahan hatinya sebagai pemimpin tetap menjadi inspirasi.
”Bagi banyak orang, Nelson Mandela adalah ikon dan pejuang hak asasi manusia yang tersohor. Tapi, bagi mereka yang mengenal dekat beliau, Nelson Mandela adalah seorang teman yang rendah hati,” kata George Bizos, pengagum berat Mandela yang akhirnya menjadi teman dekat sang tokoh.
Itu disebabkan sifat rendah hati Mandela. Bizos masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat satu Fakultas Hukum Universitas Wits di Kota Johannesburg saat kali pertama bertemu Mandela. ”Kami bertemu dalam kongres pemuda ANC pada 1948,” kenangnya.
Saat itu dia mengenal Mandela sebagai tokoh yang tampan dan berpakaian rapi. Selain gaya berbusana, dia mengenang Mandela sebagai politikus yang vokal. ”Dia pembicara yang andal. Dalam kongres tersebut, panitia tidak menyediakan pengeras suara. Tapi, dia bisa dengan mudah membuat pidatonya didengar seluruh peserta kongres,” lanjut Bizos.
Usai pertemuan pertama itu, dia mengaku ketagihan bisa terus bertemu Mandela. Mereka lantas berteman. Apalagi, setelah itu, mereka sama-sama gigih memperjuangkan anti-apartheid di Afrika. Persahabatan tersebut masih tetap terjalin sampai saat Mandela menjabat presiden.
Dalam kenangan Bizos, Mandela bukan hanya presiden rendah hati yang anti-apartheid. Dia juga sosok pemimpin yang peduli masyarakat miskin. Dia tidak segan menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan kaum papa. Bahkan, dia juga mendirikan yayasan amal yang peduli pada masyarakat miskin.
Lahir dari keluarga sederhana di desa terpencil, Mandela paham benar bahwa kekayaan tidak untuk dipendam sendirian. Maka, dia menggunakan hartanya untuk kepentingan banyak orang. Terutama untuk mendanai kampanye HAM dan meningkatkan kelayakan hidup masyarakat miskin. Dia pun tetap menjaga kesederhanaannya dengan hidup bijaksana. (Agus Ismanto*)