bidik.co —Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan mengundurkan diri dari jabatannya per 1 Oktober 2014. Beberapa kalangan menilai salah satu sebab Karen mengundurkan diri karena banyak tekanan.
Terhadap penilaiana tersebut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyerahkan pada yang menilai.
“Karena tekanan? Terserah itu orang menilai,” kata Dahlan saat ditemui di Wisma Perumnas, Jalan DI Pandjaitan, Jakarta Timur, Selasa (19/08/2014).
Dahlan menjelaskan, Karen mundur karena lebih memilih keluarga daripada karir. Sudah tiga kali Karen meminta pengunduran diri kepada Dahlan.
“Dia ingin anaknya jadi orang sehingga ingin terus anterin anaknya. Seorang ibu yang mencintai,” imbuhnya.
Sampai akhirnya permintaan itu kembali datang di tahun 2014. Kali ini Karen mempunyai alasan lain yaitu ingin mengajar di universitas terkenal yaitu Harvard University. Dahlan pun tahu Karen akan mengajar apa di Harvard nanti.
“Tetapi menurut saya alasannya seperti itu,” cetus Dahlan.
Sebelumnya mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Pengamat BUMN Said Didu mengatakan, selama ini petinggi Pertamina banyak mendapat tekanan. Selain itu ada benturan antara nilai-nilai profesionalisme dan ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil keputusan untuk Pertamina.
“Saya yakin Bu Karen menghayati betul pertentangan dua hal tersebut karena rawan terhadap masalah hukum di kemudian hari,” kata Said kemarin.
Tiga tekanan yang ada di tubuh Pertamina atas ketidaktegasan pemerintah, menurut Said, ada tiga hal yaitu soal bahan bakar minyak (BBM) subsidi, elpiji, dan ladang migas di Indonesia.
“Pertama tentang kebijakan BBM subsidi yang selalu berubah-ubah, termasuk rencana pembatasan mulai dari RFID (Radio-frequency identification) sampai pelarangan di SPBU. Ini kebijakannya kan macam-macam dan selalu berubah-ubah dari Kementerian ESDM,” jelasnya.
Kedua, tambah Said, tentang harga jual elpiji 12 kg. Dalam undang-undang korporasi, Pertamina dilarang menjual eljipi 12 kg di bawah harga keekonomian karena tidak diberi subsidi. Pertamina juga bisa kehilangan potensi laba jika terus menjual rugi elpiji 12 kg.
“Ini sudah jelas sekali bahwa melanggar hukum kalau (harga elpiji 12 kg) tidak dinaikkan. Tapi dipaksa jual murah terus oleh pemerintah,” ujarnya.
Sementara yang ketiga, adalah ketidaktegasan pemerintah untuk memberikan Pertamina prioritas dalam menggarap ladang minyak dan gas yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Intinya Bu Karen tidak kuat menjadi bemper pemerintah. Kebijakan pemerintah ini mengutamakan kebijakan populis sementara risiko hukumnya akan ke Pertamina,” ujar Said. (ai)