bidik.co — Pemerintah Australia mati-matian menyelamatkan dua warga negara mereka, Andrew Chan (31) dan Myuran Sukumaran (33), dari eksekusi mati setelah permohonan grasi mereka ditolak. Kedua WN Australia itu ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 2005 karena menyelundupkan 8 kilogram heroin ke Australia. Pengadilan menjatuhkan vonis mati terhadap keduanya.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak meremehkan sikap publik di Australia yang menentang rencana eksekusi terpidana mati Bali Nine.
”Banyak orang Australia peduli pada isu ini,” kata Julie, yang menyatakan kemungkinan akan menarik duta besar Australia dari Indonesia apabila eksekusi dilaksanakan (Australia Plus, 13 Februari 2015).
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon menelepon Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan meminta Indonesia tidak melaksanakan eksekusi mati karena PBB menentang hukuman mati dalam situasi apa pun (”Ban Ki-moon makes plea to Indonesia over executions”, The Guardian, 14 Februari 2015).
Presiden Joko Widodo menegaskan, setiap hari, sedikitnya 50 orang meninggal karena narkoba. Presiden tidak ingin generasi muda Indonesia mati sia-sia karena narkoba. Sedikitnya ada 64 permohonan grasi yang masuk ke meja Presiden Joko Widodo, tetapi semuanya ditolak.
Pada Januari 2015, enam terpidana mati kasus narkoba dieksekusi, yaitu Namaona Denis (48, Malawi), Marco Archer Cardoso Mareira (53, Brasil), Daniel Enemua (38, Nigeria), Ang Kim Soei (62, Belanda), Tran Thi Bich Hanh (37, Vietnam), dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, WN Indonesia. Pemerintah Belanda dan Brasil menyampaikan protes dengan menarik duta besar mereka dari Indonesia.
Eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus-kasus narkoba itu memberi pesan bahwa Indonesia betul-betul serius berperang dengan sindikat narkoba.
Namun demikian, tidak semua pihak di Indonesia setuju dengan hukuman mati. Pegiat hak asasi manusia, Hendardi, berpendapat lain. Menurut Ketua BP Setara Institute itu, kesigapan Presiden Joko Widodo menolak grasi terpidana kasus narkoba dan semangat Kejaksaan Agung mengeksekusi terpidana mati gelombang kedua adalah cara Jokowi dan kabinetnya menutupi kelemahan kinerja di bidang hukum, terutama terkait dengan ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri.
Hendardi berpendapat, dengan menolak grasi itu, kabinet Jokowi merasa gagah dan pongah. Padahal, tidak ada kaitan dengan prestasi seorang Presiden. Hukuman mati tidak pernah mendapat pembenaran dengan alasan apa pun, termasuk ancaman bagi generasi muda.
Mencegah peredaran narkoba dengan sungguh-sungguh jauh lebih penting daripada mengeksekusi terpidana kasus narkoba. Hendardi khawatir Presiden Jokowi akan mengalami kesulitan diplomatik melindungi 229 WN Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri.
Jangan lupa, Pemerintah Indonesia juga pernah berusaha mati-matian membela WNI, sebagian besar buruh migran, yang terancam hukuman mati di beberapa negara. Saat ini, 17 WNI menunggu eksekusi mati di luar negeri, 9 orang di Tiongkok, 5 orang di Arab Saudi, dan 3 orang di Malaysia.
WNI yang diselamatkan pemerintah di antaranya adalah Darsem, yang terancam hukuman mati di Arab Saudi karena divonis bersalah membunuh majikan prianya. Pemerintah membayar ”uang darah” (diyat) untuk Darsem Rp 4,7 miliar dengan APBN 2011, yang disepakati DPR, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Luar Negeri.
Protes yang disampaikan pemerintah negara lain terkait rencana eksekusi mati itu dapat dipahami. Mungkin kondisinya mirip ketika tenaga kerja Indonesia, Ruyati, dihukum pancung di Arab Saudi atau TKI lainnya yang mengalami nasib yang sama. Pemerintah Indonesia dihujat ramai-ramai oleh rakyat dan dinilai ”tidak peduli terhadap nasib rakyatnya”.
Indonesia sebenarnya sudah meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang melindungi hak hidup. Namun, dalam praktiknya, banyak undang-undang yang melegalkan hukuman mati. Indonesia seakan bersikap mendua. Berharap pemerintah negara lain membebaskan WNI yang terancam hukuman mati, tetapi di dalam negeri Indonesia masih menjalankan hukuman mati.
Sikap mendua Indonesia ini tampaknya akan melekat dalam pemerintahan saat ini. Presiden Joko Widodo menegaskan tetap akan mendampingi WNI yang menghadapi berbagai persoalan di luar negeri, termasuk menghadapi ancaman hukuman mati.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana Indonesia mampu melakukan lobi-lobi diplomatik dengan pemerintah negara lain apabila pemerintah masih bersikap mendua terhadap hukuman mati? Mengapa negara lain harus mendengarkan permintaan Indonesia untuk tidak menghukum mati WNI, sementara Indonesia menolak mempertimbangkan permintaan negara lain terkait nasib warga negaranya? Dalam konteks inilah, publik menuntut sikap pemerintah yang jelas.
Hal senada juga disampaikan oleh pembaca, soleman montori mengatakan, “Hukuman adalah balas dendam negara. Hukuman mati adalah balas dendam negara pada jaman purba, yaitu saat hukum dan peradaman manusia belum maju. Saat itu, hukuman ada yang berbentuk darah ganti darah, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa, tangan ganti tangan, dan bentuk hukuman tidak beradab lainnya,” tandasnya.
Selanjutnya soleman mengatakan, “Di Jaman modern ini jika masih ada bangsa yang menghendaki hukuman mati, berarti bangsa tersebut belum beradab. Atau kemungkinan para pemimpinnya menaikan popularitas melalui hukuman mati. Orang yang dihukum mati juga merupakan korban. Saran saya, lebih baik dihukum seumur hidup dan ditempatkan di suatu pulau kosong/terasing, biar jadi obyek wisata untuk meanambah pendapatan negara.”
Pembaca lainnya. Dony Layardi mengatakan, tujuan Pemerintah, untuk menghidupkan orang. “Bukan membunuh. Ini diatur oleh UUD bhw setiap orang punya hak hidup. Yg kita hukum itu ‘perbuatan” bukan mematikan orangnya. Kalau orang sudah bertobat, dan hidup baik, ya sudah jangan dimatikan,” tandasnya.
Selanjutnya pembaca lain seperti Ratu Adil menilai, kengototan pemerintahan Jokowi menolak semua grasi akan berakibat tidak akan bertahannya pemerintahannya.
“Kalau Jokowi masih ngotot menolak semua grasi,dan percepat hukuman mati,saya rasa pemerintahan Jokowi,JK ini tidak akan bertahan lama.Pemerintahan sekarang sudah seperti otoriter,main tenggelamkan kapal,dan hukum mati seenaknya,ini pasti mengganggu hubungan bilateral dengan negara lain,” tandas Ratu Adil.
Ratu Adil juga mengingatkan bahwa Indonesia masih banyal bergantung pada negara lain, sikap yang dilakukan Jokowi justru akan menjadi blunder pemerintahnnya.
“Indonesia sudah bisa berdiri dikaki sendiri nggak!Kita masih banyak terima bantuan Asing,semua juga harus import.Ingat Jokowi jangan jatuh karena Blunder politik yg tidak populer.Kalau mau tanya fatwa hukuman mati,jangan tanya MUI aja,Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika,tanya juga agama lain.terima kasih,semoga tulisan ini berguna untuk masyarakat umumnya,” kritiknya. (*)