bidik.co — Kemunculan fenomena pesta bikini dengan judul “Splash After Class” usai ujian sekolah hendaknya disikapi dengan arif dan harus dijadikan introspeksi oleh seluruh bangsa Indonesia.
“Jangan pernah mengecam apa yang dilakukan oleh anak-anak sekolah kelas XII tersebut atau bahkan menjadikan fenomena itu sebagai bentuk tindak kejahatan,” ujar konsultan komunikasi politik, AM Putut Prabantoro, Minggu (26/4/2015).
Menurut Putut Prabantoro yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), fenomena pesta bikini hendaknya dilihat sebagai komunikasi politik yang dilakukan oleh generasi yang dilahirkan serta dibesarkan di tengah kegalauan dan kegaduhan tatanan baru hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada tahun 1998.
Pesta bikini muncul akibat perubahan tatanan budaya, sosial dan politik yang tidak mapan, diperparah dengan revolusi teknologi komunikasi dan informasi (gadget). Hal itu ditandai dengan demam handphone yang mengubah total tata gaul dan tata komunikasi generasi sekarang.
“Generasi yang lahir sekitar 1998 boleh disebut sebagai generasi galau. Mereka tidak menemukan patron atau tokoh idola kecuali dalam dunia maya. Kehidupan di keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah jauh dari teladan, sehingga mereka tumbuh tanpa terkontrol dan kendali. Apa yang kita lihat sekarang ini adalah pertumbuhan generasi baru dalam kegalauannya,” bebernya.
Hingga saat ini, katanya, Orde Reformasi belum memberikan wujud nyata dari suatu perubahan budaya, sosial dan politik yang lebih baik daripada orde sebelumnya. Bahkan generasi ini tumbuh dalam arus besar sebuah perubahan tantatan masyarakat yang diwarnai dengan persoalan korupsi, perebutan kekuasaan dan kejahatan terencana ataupun teroganisir.
“Reformasi adalah suatu langkah yang baik pada awal mulanya. Namun ketika reformasi tidak diselesaikan dengan baik, orde ini kemudian malah memunculkan berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan pula. Generasi yang lahir tahun 1998 terjebak dalam keruwetan tersebut. Sementara itu, masyarakat, orang tua dan pemerintah tidak menyadari kekeliruan yang telah terjadi,” tukasnya.
Sementara itu Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PPP Reni Marlinawat mengecam pesta bikini usai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dan mendesak aparat penegak hukum melakukan pengusutan terhadap kegiatan itu.
“Menentang keras acara ‘Splash after Class’ yang menonjolkan sikap hedonisme, pornografi dan asusila terhadap generasi muda,” kata Reni, Jumat (24/4/2015).
Dia menyatakan, acara tersebut sangat provokatif dan tidak memberi nilai edukasi kepada generasi muda. Tindakan penyelenggara dinilai sangat tidak bertanggung jawab terhadap pertumbuhan remaja.
“Orang tua banting tulang untuk membiayai pendidikan agar anaknya menjadi anak yg baik, dirusak oleh perilaku ‘event organizer’ yang tidak bertanggungjawab,” katanya.
Dia meminta klarifikasi terhadap sejumlah SMA yang dicantumkan namanya dalam banner acara tersebut.
“Apakah sekolah tersebut benar-benar terlibat atau sekadar namanya dicatut,” katanya.
Reni melanjutkan bila nama sekolah dicatut dengan tujuan komersial, ia mendorong pihak sekolah melakukan gugatan hukum terhadap penyelenggara acara tersebut.
Dia juga mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggara acara tersebut.
“Acara tersebut jelas menimbulkan keresahan di masyarakat dan berpotensi menimbulkan penyimpangan hukum,” ujarnya.
Peristiwa itu juga diharapkan menjadi bahan pemikiran seluruh pemangku kepentingan terkait dengan pola pikir anak didik dalam memaknai kelulusan.
Dengan adanya kasus tersebut, Reni kemudian menyebut pendidikan moral dan akhlak harus menjadi perhatian serius khususnya dalam rencana perubahan kurikulum 2013.
“Saya curiga, ‘event’ serupa bisa saja muncul di berbagai kota di Indonesia, yang kebetulan tidak diekspos oleh media,” katanya.
Peran serta guru, wali murid, masyarakat dan pemerintah dimintanya untuk ditingkatkan dalam mengawal masa pertumbuhan anak-anak.
“Masa depan Indonesia berada di pundak anak-anak kita,” katanya. (*)