bidik.co — Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa menilai, praperadilan seharusnya tak bisa membatalkan penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika hakim Sarpin Rizaldi nantinya memenangkan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan dengan membatalkan penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, putusan itu bisa dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
“Dalam praktiknya, kalau MA menganggap putusan itu menyalahi, bisa dibatalkan,” kata Sarpin, di Jakarta, Minggu (15/2/2015).
Harifin menjelaskan, praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut, hanya ada enam hal dalam sebuah proses hukum yang dapat diajukan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, diatur pula mekanisme mengenai permintaan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik.
“Hanya lima ini yang menjadi kewenangan praperadilan,” ucapnya.
Selain itu, Harifin juga mengacu kepada praperadilan pada tahun 1998. Saat itu, ada seorang bankir yang kabur ke Australia, tetapi dia ditangkap oleh polisi di sana. Pengacaranya pun mengajukan praperadilan di Indonesia. Praperadilan itu dikabulkan karena hakim menilai penangkapan yang dilakukan polisi Australia melanggar ketentuan dalam KUHAP.
“Tapi, menurut MA, hakim (praperadilan) ini sudah keluar dari kewenangan yang diberikan undang-undang. Praperadilan tidak menjangkau penegak hukum yang ada di luar negeri. Jadi, oleh MA dinyatakan keliru, tidak sah,” ujarnya.
Putusan praperadilan Budi Gunawan rencananya akan diumumkan pada Senin (16/2/2015) besok. Selama sepekan, pihak Budi Gunawan sebagai pemohon dan KPK sebagai termohon sudah diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan saksi, ahli, dan bukti-bukti.
Hal senada juga disampaikan pengajar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Junaedi. Ia menilai, seharusnya hakim yang memimpin jalannya persidangan menolak permohanan gugatan yang dilakukan oleh Budi Gunawan.
“Ini sudah masuk pokok perkara dan penetapan tersangka sudah jadi wewenang penyidik sehingga selayaknya praperadilan menolak dan membiarkan proses dilanjutkan,” kata Junaedi dalam acara diskusi di gedung YLBHI, Jakarta, Ahad (15/2/2015).
Gugatan yang disampaikan oleh BG terkait penyidik harus berasal dari kepolisian pun dinilainya tak tepat. Ia mengatakan, UU KPK pun juga merupakan UU ekstra ordinary yang dibutuhkan untuk menangani kejahatan yang juga luar biasa.
“Di UU KPK ketentuan penyidik dan PU berbeda. Untuk PU harus jaksa. Untuk penyidik dan penyelidik di UU KPK diinginkannya independen. PU harus jaksa karena yang punya dominan dalam menuntut yaitu jaksa. Tetapi, memang penyidik dan penyelidik diambil dari polisi karena itu keputusan pemerintah, yaitu ketika menkumhamnya masih Yusril Ihza Mahendra,” katanya. (*)