bidik.co — Menurut Bernadeta Kusdiantari, Konsultan Experd, comfort zone atau zona nyaman merupakan situasi ketika Anda sudah nyaman dengan suatu keadaan. Target yang Anda terima tidak menantang diri untuk melakukan sesuatu yang lebih daripada saat ini.
Seseorang yang sudah berada dalam posisi nyaman biasanya cenderung menikmati yang sudah ada dan tidak mendorong dirinya untuk meraih hal yang lebih baik lagi, serta sudah merasa puas dengan keadaan saat ini.
Mayoritas orang mengartikan bahwa ketika sudah lama di satu perusahaan dan melakukan pekerjaan secara rutin, berarti Anda sudah sampai di zona nyaman. Dalam hal ini, Anda memasuki zona nyaman, jika dalam berkarier atau bekerja tidak menetapkan suatu target yang lebih tinggi lagi atau melakukan peningkatan yang lebih menantang kemampuan, pengetahuan, atau keterampilan Anda sendiri.
Solusinya bukan semata-mata mencari perusahaan lain, namun bagaimana Anda bisa keluar dari zona aman itu. Contoh, dalam pekerjaan Anda bisa memberikan suatu metode baru, target baru, atau perbaikan-perbaikan yang dapat makin meningkatkan efektivitas dan efisiensi di unit kerja Anda.
Bisa juga dengan berkontribusi dalam memberikan solusi untuk mengembangkan bisnis yang sudah ada saat ini, atau usulan-usulan lain diikuti dengan tindakan nyata dalam mewujudkannya, bukan hanya menjalankan proses kerja yang sudah ada.
Sebagai manusia, kita perlu menguji limitasi atau batasan kita sehingga seluruh kemampuan yang dimiliki dapat teraktualisasikan dengan maksimal. Maka, yang dimaksud dengan menghindari comfort zone adalah terus menggali kemampuan dan jangan mudah berpuas diri dengan pencapaian yang sudah ada saat ini.
Sementara itu psikolog Toge Aprlilianto, M.Psi dewan penasihat Prevention, keenganan lepas dari ikatan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab dengan melepaskan diri dari ikatan, hidup kita jadi tidak nyaman. Tidak bisa dikendalikan dengan mudah dan ujung-ujungnya menjadi tidak seimbang.
Namun kontradiktifnya manusia, kita selalu mendambakan perubahan dalam hidup. Oleh karena itu, melepaskan diri dari ikatan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
“Yang perlu dikembangkan adalah kesanggupan untuk belajar, dalam artian kita mau sekaligus mampu untuk melakukannya,” Toge menjelaskan. Dan untuk mencapai hal besar, kita perlu mulai dari menaklukkan yang sederhana atau mudah. Sudah siapkah kita melepaskan diri dari ikatan-ikatan berikut?
Tetap bertahan bekerja, meski sebenarnya sudah tidak betah. Gejala sederhananya adalah hampir setiap hari menggerutu dengan situasi kantor pada orang-orang terdekat. Jika pilihannya tetap ingin bertahan, Toge menyarankan agar kita lebih menyesuaikan mental atau lebih menyesuaikan diri agar bisa menerimanya dengan lapang dada. Tapi jika kita berani menerima tantangan untuk keluar dari situasi itu, cari lowongan pekerjaan di tempat lain yang sesuai dengan kita mau.
Selalu menyimpan barang-barang bernilai sentimental. Sebenarnya kebiasaan ini tidak disalahkan. Yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan kita yang terlalu terikat pada benda-benda itu secara emosional.
Coba bayangkan, suatu hari barang-barang tersebut tidak bisa lagi kita pegang dan miliki. Apa ini juga membuat memori kita ikut menghilang? Toge menyarankan, kita boleh saja terus menyimpan barang bernilai sentimental. Hanya saja jangan sampai ini menggangu kehidupan yang sedang dijalani dan di masa datang.
Penelitian terakhir menyatakan, mereka yang mengidap gangguan obsesif kompulsif punya kecenderungan untuk menyimpan barang secara berlebihan. Bila kita sepakat untuk melepaskan ikatan tidak perlu dengan barang-barang yang dimiliki, itu adalah keputusan yang berani. Sebab kita sadar, yang terpenting bukanlah barangnya. Melainkan kenangan indah yang terus terpatri di benak kita.
Berjuang mempertahankan kebersihan dan kedisplinan di rumah. Bagi kita yang punya anak yang masuk dalam usia aktif, hal tersebut adalah tantangan. Apakah kita berani mengendurkan aturan demi memberi ruang kreativitas pada anak? Jika kita menghambat kreativitas mereka, risiko yang muncul adalah sulitnya menjalin relasi dengan akan.
“Yang perlu dierenungkan, siapakah yang menempati posisi prioritas dalam kehidupan Anda. Apakah Anda atau anak?,” ujar Toge.
Jika pilihannya anak, maka sudah sewajarnya kita mengorbankan kenyamanan. Selalu bertolak pada masa lalu. Tidak dapat disangkal, saat menghadapi sesuatu, kita kerap terjebak dalam perangkap perbandingan. Termasuk, ketika yang disongsong adalah perubahan. Dan adegan akhir dari situasi ini adalah penolakan yang diikuti dengan kata-kata,”Kalau dulu…”
Jadi kalau kita tetap memutuskan untuk berpijak di masa lalu, kita perlu siap menghadapi berbagai benturan yang mungkin terjadi. Sebab perbedaan antara yang pernah kita alami dengan hal-hal yang baru, bisa saj menciptakan kesenjangan dan ketidakcocokan.
Dan jika kita terketuk untuk berhenti menoleh ke masa lalu, kita sebenarnya tidak perlu cemas akan kehilangan memori masa lalu, kata Toge. Biarkan semuanya berjalan dengan biasa. Terima perubahan yang ditawarkan, seperti kita menerima perubahan jam dan hari dalam hidup ini. Yakinlah, pengalaman baru yang kita temui akan memperkaya diri.
Tak terbatas usia, zona nyaman ini pasti pernah dirasakan oleh setiap orang. Secara sederhana. zona zaman dapat diartikan sebagai situasi di mana seseorang merasa aman, nyaman, dan cocok dengan kondisi yang dihadapi.
“Namun di sisi lain, kemampuan sesorang tidak akan berkembang jika terlalu lama berada di zona nyaman,” jelas Galuh Setia Winahyu, M. Psi., People Development Supervisor ECC UGM.
Galuh menjelaskan, ketika seseorang merasa berada di zona nyaman dan kemampuannya tidak berkembang, itulah pertanda ia harus keluar dari zona nyaman tersebut. “Kemampuan di sini dapat diartikan sebagai knowledge dan juga skill,” lanjutnya. Selain itu, keluar dari zona nyaman juga diperlukan untuk menghindari kebosanan dari kegiatan atau pekerjaan yang terlalu monoton.
Menentukan Jalan Keluar. Berdasarkan hasil polling di website ECC UGM, sebanyak 53,3% responden memilih mendalami bidang yang sudah ada tetapi memperluas jangkauan dan kualitas sebagai pilihan kegiatan untuk keluar dari zona nyaman. 34,4% memilih menjajal bidang lain yang masih sejenis dengan bidang lama. Sedangkan 12,2% cenderung ingin mempelajari bidang yang benar-benar berbeda dari bidang lama.
Memilih jalan keluar dari zona nyaman harus disertai dengan pemikiran yang matang. Mohammad Adhi Pratama S.Psi, Human Capital PT Wika Realty mengatakan, untuk keluar dari zona nyaman, ia cenderung memilih untuk menjajal bidang lain yang sejenis dengan bidang lama.
“Agar lebih cepat adaptasi, tapi juga tidak monoton,” ujar Tama, sapaan akrabnya. Menurutnya, dengan cara demikian, ia tetap bisa keluar dari zona nyaman tetapi tidak membutuhkan adaptasi yang memakan waktu lama karena bidang itu telah ia dalami sebelumnya.
Senada dengan pilihan Tama, Dinda Rinaningayu juga memilih untuk berganti bidang yang berbeda tetapi masih sejenis dengan yang sebelumnya. Menurutnya, keluar dari zona nyaman berarti keluar untuk mencoba hal yang baru. “At least, saya punya pegangan apa yang akan saya lakukan jika bidang itu sudah saya pahami sebelumnya,” papar mahasiswa Sastra Perancis UGM ini.
Lain halnya dengan yang diungkapkan oleh Melinda Pradita, mahasiswa Komunikasi UGM. Ia memilih sesuatu yang sama sekali baru saat ingin keluar dari zona nyaman. “Sekalian keluar dari zona nyaman, sekalian yang beda dari sebelumnya,” jelasnya. Ia cenderung ingin mencoba hal baru dengan tantangan baru pula.
Hal ini dikatakan Galuh sebagai bentuk pilihan yang diserahkan kepada masing-masing individu. Namun, seseorang harus memiliki alasan yang kuat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Apa yang ingin didapatkan di tempat baru menjadi pertimbangan dalam memilih aktivitas yang tepat.
Jika ingin mengasah keterampilan, misalnya, carilah bidang yang memungkinkan untuk mengasah keterampilan yang diinginkan. “Pastikan bahwa tujuan yang diinginkan dapat dicapai di tempat baru,” ujar Galuh.
Melepaskan Diri dari Zona Nyaman. Keluar dari zona nyaman dikatakan Galuh sebagai sesuatu yang tidak mudah. Zona tersebut terlanjur membuat seseorang merasa ingin tetap berada di situasi yang mudah dan tidak menyulitkan. Zona ini banyak dicari oleh orang karena menawarkan situasi yang menyenangkan dan tidak membutuhkan terlalu banyak kerja keras.
“Ada dua hal yang harus dilakukan untuk keluar dari zona nyaman, yaitu komitmen dan effort yang cukup,” kata Galuh. Ia melanjutkan, seseorang harus memiliki komitmen yang kuat untuk meraih tujuan yang diharapkan. Jadi, meskipun keluar dari zona aman terasa sulit, komitmen menjadi motivasi untuk terus melangkah.
Yang kedua adalah effort atau usaha yang cukup. “Effort membuat seseorang tidak gampang menyerah pada situasi,” papar Galuh. Meskipun terasa nyaman dan menyenangkan, zona ini memang harus ditinggalkan jika seseorang ingin terus berkembang.
Pertanda Harus Keluar dari Zona Nyaman. Tidak semua situasi di mana seseorang merasa nyaman dan cocok diartikan sebagai zona nyaman. Menurut Galuh, ada beberapa sinyal yang menunjukkan seseorang tengah berada di zona nyaman. Pertama, kemampuan tidak berkembang. Tidak ada perkembangan secara signifikan pada skill yang dimiliki. Kedua, karir tidak maju, berhenti pada level tertentu, dan tidak ada peningkatan yang berarti. Karir di sini dapat juga diartikan sebagai prestasi atau pencapaian pada bidang yang ditekuni.
Jika seseorang merasakan hal demikian, ia perlu menanyakan kepada diri sendiri, apa saja yang sudah didapatkan di tempat itu selama ini? Apakah target-target pribadi selama ini sudah terpenuhi? “Yang terpenting adalah kenali kondisi diri, kemudian tentukan langkah selanjutnya yang akan diambil,” pungkas Galuh.
Nah, apakah Anda sudah berani keluar dari zona nyaman Anda? Apa pertimbangan Anda? (*)