Bidik.co — Di usianya yang ke-79 tahun, Bangsa Indonesia masih menyisakan berbagai persoalan, tidak terkecuali terhadap pendidikan. Masalah utama yang dihadapi Bangsa Indonesia terkait dengan pendidikan saat ini adalah tidak meratanya akses dan rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat.
“Tidak meratanya akses merupakan masalah utama di dunia pendidikan Indonesia. Dari mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan pendidikan tinggi (PT), terdapat kesenjangan akses antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan, kelas sosial menengah atas dan kelas menengah bawah, serta Indonesia bagian barat dan timur,” tutur Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Nuroji dalam Sosialisasi Hasil-hasil Keputusan MPR RI di Depok, Senin (6/5/2024).
Menurut Nuroji di jenjang PAUD, misalnya, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2022/2023 menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar anak-anak ke layanan PAUD baru mencapai 45,87%. Dari total 17,7 juta anak berusia 3-6 tahun di Indonesia, baru sekitar 8,1 juta yang sudah mengakses layanan PAUD.
“Padahal, salah satu indikator dari Sustanaible Development Goals (SDGs) adalah adanya perluasan akses universal ke layanan PAUD bagi anak laki-laki dan perempuan,” tutur Anggota DPR RI Komisi X, yang membidangi pendidikan ini.
Bahkan, lanjut politisi Partai Gerindra ini, di tingkat pendidikan dasar dan menengah, angka partisipasi kasar (APK) atau proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut, sudah cukup tinggi. APK SD mencapai 91,81%, sedangkan APK SMP dan SMA masing-masing sudah mencapai 79,35% dan 68,87%.
“Namun, data Statistik Pendidikan 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 1 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang SD, 10 dari 1.000 penduduk putus sekolah di jenjang SMP, dan 12 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di SMA. Hal ini membuktikan bahwa isu akses senantiasa beriringan dengan isu partisipasi. Meskipun awalnya anak-anak telah memiliki akses terhadap layanan pendidikan, mereka tidak berpartisipasi penuh dan terpaksa berhenti di tengah karena tekanan kemiskinan,” jelas Nuroji menyayangkan.
Bahkan di tingkat pendidikan tinggi, angka partisipasi kasar penduduk masih rendah. Di tahun 2022, APK ke PT berada di angka 39,37%. Indonesia tertinggal dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia yang mencapai 43%, dan Singapura yang telah mencapai 91%.
“Tingkat partisipasi pendidikan pascasarjana bahkan lebih rendah lagi. Pada acara pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Surabaya pada 15 Januari 2024, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan bahwa rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif Indonesia hanya mencapai 0,45%,” lanjut Nuroji.
Dengan timpangnya akses dan rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat tersebut, Nuroji mengingatkan pada perjuangan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda, terutama terkait pendidikan.
“Ki Hadjar Dewantara menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak orang kaya atau kelahiran Belanda yang bisa mengenyam pendidikan. Akibat sikap kritisnya, Ki Hadjar Dewantara diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya, yaitu Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiga tokoh tersebut dikenal sebagai Tiga Serangkai,” tutur Nuroji bersemangat.
Karena itu di Hari Pendidikan Nasional yang tahun 2024 ini mengusung tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”, yang berarti mengajak seluruh elemen bangsa, dari pendidik, peserta didik, sampai masyarakat luas, agar saling membantu untuk mewujudkan transformasi pendidikan di Indonesia.
“Merdeka belajar adalah sebuah gerakan yang menitikberatkan pada kemandirian belajar peserta didik. Pendekatan tersebut untuk mendorong peserta didik agar aktif, kreatif dan kritis dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut sejalan dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara untuk menciptakan generasi bangsa yang mandiri, cerdas, dan berkarakter mulia,” tandas Nuroji. (is/ir)