Agung Hidayat (Pemerhati Etika Politik)
Bidik.co — Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap hasil Pemilihan Presiden dan wakil Presiden tahun 2024, yang memenangkan pasangan nomor urut 02, Prabowo-Gibran memunculkan sikap yang berbeda antarcalon. Calon 01 Anies-Muhaimin tidak mengambil langkah kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan 01 dan 03 secara seluruhnya. Tampaknya 01 telah meng-amin-kan kemenangan 02.
Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) sebagai pengusung 03 Ganjar-Mahfud, masih mencari jalan berliku “membendung” Prabowo-Gibran. Kali ini mereka mencoba berselancar di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tercatat PDI-P mengajukan gugatan atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2 April 2024 ke PTUN Jakarta dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT dengan pihak penggugat diwakili oleh Megawati Soekarnoputri, (sipp.ptun-jakarta.go.id).
Maksud Berlapis
Awalnya PDI-P mengajukan empat tuntutan dalam gugatannya. Salah satunya, menunda pelaksanaan dan mencabut Keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum dan seterusnya.
Namun, dalam sidang perdana, hakim meminta PDI-P memperbaiki tuntutannya. Kemudian, dalam perbaikan itu PDI-P meminta PTUN menyatakan KPU melakukan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah (PMHP/onrechtmatige overheidsdaad) karena menerima pendaftaran Gibran. PDIP berharap dasar ini dapat mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk membatalkan pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, (Tempo.co).
Itulah mengapa gugatan PDI-P atas KPU ini tampak memiliki maksud berlapis, yang membingungkan banyak pihak. Oleh sebab itu, berbagai pihak pun mengeluarkan beragam pendapat atas langkah ini.
Menurut ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menegaskan bahwa menerapkan gugatan yang diajukan oleh PDIP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan jika telah mencapai tingkat Mahkamah Agung, akan menjadi tantangan yang sulit. Jika gugatan PDIP diterima, akan menjadi sulit untuk menjalankannya. KPU, sebagai pihak yang menjadi sasaran keputusan, mungkin tidak akan mengimplementasikan putusan untuk membatalkan keterlibatan Gibran, (Tempo.co).
Begitu juga dengan komunikolog dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta, Tamil Selvan yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh PDIP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak akan mengakibatkan penundaan dalam pelantikan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2024-2029, (ANTARA.com).
Sementara itu ahli hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan bahwa dari segi konstitusional, kemungkinan untuk menghindari putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan gugatan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 hampir tidak ada. Namun, dia menambahkan bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya, potensi tersebut masih ada. Hal ini karena dalam praktiknya, konstitusi di Indonesia dapat diubah melalui kekuatan politik, (Kompas.com).
Kendati banyak pihak yang pesimis, tampaknya PTUN membuka pintu untuk tetap memproses gugatan PDI-P, (MediaIndonesia.com). Hal ini dapat kita pandang sebagai wujud keterbukaan di dalam negara demokrasi.
Pengupayaan
Memang, apabila suatu keputusan tata usaha negara itu dianggap merugikan pihak tertentu, maka dapat digugat ke PTUN agar pelaksanaannya ditunda. Hal ini sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Persoalannya, apakah Keputusan Hasil Pemilu termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)? Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan yang tidak termasuk dalam pengertian KTUN, salah satunya: Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Keputusan Hasil Pemilu bukan bagian dari KTUN seharusnya sudah cukup menjelaskan bahwa gugatan PDI-P bersifat samar. Tapi, PDIP memilih jalan melingkar, dengan menyandarkannya pada argumentasi PMHP.
Jikapun fokus gugatan PDI-P adalah PMHP sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maka seharusnya PDI-P menempuh upaya administratif sebelum mengajukannya ke PTUN.
Sesuai Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 menjelaskan, “Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili Sengketa Tindakan Pemerintahan setelah menempuh upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.”
Maka, telah jelas, gugatan PDI-P terhadap KPU baru dapat diajukan ke PTUN jika seluruh upaya administratif di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah digunakan.
Sementara itu, sepanjang proses kepemiluan 2024 berlangsung hingga menjelang pencoblosan, tidak pernah terdengar PDI-P menempuh upaya administratif tersebut di Bawaslu.
Jalan Melingkar
Perlu diingat, pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR mendatang merupakan konsekuensi hukum dari Keputusan Hasil Pemilu Nomor 360 Tahun 2024.
Oleh karena itu, saya melihat, menggunakan argumentasi PMHP untuk membatalkan pelantikan tersebut adalah bentuk jalan melingkar yang dipaksakan.
Langkah ini lebih pas disebut sebagai tarian politik daripada langkah hukum. Hukum tidak boleh bersifat samar (obscure). Hukum harus jelas —sejelas cahaya matahari.
Dapat dikatakan, langkah hukum yang diambil oleh PDI-P dalam mengajukan gugatan ke PTUN menunjukkan kebandelan dalam menghadapi hasil pemilu.
Dengan mengajukan gugatan tersebut, PDI-P secara tidak langsung memanfaatkan panggung hukum untuk menyuarakan ketidakpuasan politik mereka terhadap proses pemilu. Padahal, ketidakpuasan politik harus tunduk pada hukum, agar ia tidak menjadi bola liar.
Selain itu, langkah PDI-P kali ini dapat pula dipandang sebagai upaya membuyarkan kepastian berdemokrasi. Selain potensi membuyarkan agenda politik yang telah terjadwal, langkah tersebut juga dapat menciptakan ketidakpastian politik di tengah kepentingan pembangunan yang harus dikejar. (*)