Agung Hidayat (Peneliti pada Parami Institute)
Bos jalan tol Jusuf Hamka menagih utang Rp800 miliar kepada pemerintah. Pria yang akrab disapa Babah Alun itu menyebut utang pemerintah bermula dari deposito PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk alias CMNP sebesar Rp78 miliar di Bank Yakin Makmur atau Bank Yama. Utang itu belum dibayar sejak krisis moneter 1998, kala Bank Yama dilikuidasi pemerintah. Sejak saat itu, Jusuf mengaku tidak mendapatkan kembali uang depositonya. Pemerintah berdalih CMNP terafiliasi dengan pemilik Bank Yama, yakni Siti Hardijanti Hastuti Soeharto alias Tutut Soeharto. Tak terima dengan dalih itu, pihaknya kemudian menggugat pemerintah ke pengadilan pada 2012 lalu.
Menanggapi tagihan Jusuf Hamka, Menko Polhukam Mahfud MD mempersilakan Jusuf Hamka menagih kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Mahfud telah ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat internal pada 23 Mei 2022, untuk mengkoordinir pembayaran utang pemerintah kepada pihak swasta ataupun masyarakat. Perintah presiden itu disampaikan secara resmi dalam rapat internal 23 Mei 2022, yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya keputusan Menko Polhukam nomor 23 tahun 2022 tanggal 30 Juni 2022.
Kronologi & Perhitungan
Sebelumnya, Jusuf Hamka mengaku sudah pernah bertemu dengan sang Bendahara Negara, Menteri Keuangan. Ia bahkan telah menyampaikan berkas-berkas terkait utang pemerintah tersebut. Namun pemerintah tak kunjung membayar hingga saat ini. “Padahal sudah pernah ketemu, sudah saya kasih berkasnya. Selalu bilang gitu, belum dipelajari, ngelesnya begitu mulu. Pusing saya,” katanya. “Makanya saya rasa Bu Sri Mulyani mau bayar, tapi di bawah ini banyak yang ganjel-ganjel,” lanjutnya.
Jusuf Hamka mengatakan, yang menghalangi adalah Hadiyanto, mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan. Hadiyanto disebut memberikan masukan salah ke Sri Mulyani. “Hadiyanto yang ganjel, yang kasih masukan gak bener ke Sri Mulyani. Dia sudah berhenti kan sekarang di Kemenkeu. Saya uber dia, Pak gimana bapak sudah saya teken, tapi enggak mau akui,” katanya.
Jusuf Hamka mengatakan sebenarnya utang pemerintah kepadanya bukan Rp800 miliar, melainkan Rp1,25 triliun jika merujuk hitungan Mahkamah Agung (MA). Ia menyebut perkara utang bermula dari uang deposito perusahaannya, PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), di Bank Yakin Makmur alias Yama, sebesar Rp78 miliar dan Rp79 miliar.
Namun, ketika krisis moneter 1998 semuanya dilikuidasi. Apes, uang deposito Jusuf tak dicairkan sampai sekarang karena tuduhan CMNP terafiliasi dengan pemilik Bank Yama, yakni Siti Hardijanti Hastuti Soeharto alias Tutut Soeharto.
Ia lantas mencari keadilan hingga memenangkan gugatan di MA pada 2015. Jusuf menyebut putusan MA mengharuskan pemerintah membayar deposito miliknya beserta denda setiap bulannya sebesar 2 persen. “Denda MA 2 persen per bulan. Dari 1998 ke 2023 kan 25 tahun, 25 tahun kali 12 bulan kan 300 bulan, kali 2 persen, sama dengan 600 persen. Kalau pokoknya Rp179 miliar yang diakui. Jadi totalnya 6 kali bunganya ditambah 1 kali pokoknya. Jadi 7 kali Rp179 miliar, ya Rp1,25 triliun,” katanya.
Jalan Tengah
Saat itu, CMNP sempat mengajukan permohonan teguran ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar pemerintah melaksanakan putusan yang telah inkrah tersebut. Hanya saja hal tersebut direspon pemerintah dengan meminta keringanan dengan membayar utang pokoknya saja atau tanpa denda (Liputan6.com, 2023).
Atas permintaan tersebut perusahaan milik Jusuf Hamka ini merasa keberatan dan meminta Kementerian Keuangan untuk membayar berikut dengan bunganya. Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk membayar pokok dan denda dengan total nilai Rp 179,5 miliar.
Serta disepakati pembayaran utang dilakukan dua tahap, yakni pada semester pertama tahun anggaran 2016 dan semester pertama 2017, dengan masing-masing senilai Rp89,7 miliar. Hanya saja, sampai saat ini, utang tersebut belum juga dibayar oleh Pemerintah.
Putusan Hakim Mengikat
Prinsip hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti “Putusan hakim harus dianggap benar” di mana putusan tersebut dijatuhkan. Putusan hakim harus dipandang sebagai putusan yang berlaku sesuai asas ‘res judicata’ (putusan hakim harus dianggap benar), serta asas ‘res judicata pro veritate habetur’ yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.
Hakim dalam perkara yang melibatkan Jusuf Hamka dan Pemerintah memutuskan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan harus membayar deposito berjangka senilai Rp78,84 miliar dan giro Rp76,09 juta dan membayar denda 2 persen setiap bulan dari seluruh dana yang diminta CMNP hingga Pemerintah membayar lunas tagihan tersebut.
Apabila berpegang pada asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur, maka tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak melaksanakan putusan tersebut. Selain itu, putusan hakim memenangkan gugatan PT CMNP atau pihak Jusuf Hamka sudah cukup jelas untuk kemudian ditindaklanjuti. Sebagaimana asas Absolute sentienfia expositore non indiget yang berarti “Sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut”.
Berpegang pada asas hukum di atas, sepanjang tidak ada upaya hukum lanjutan yang dapat “mengevaluasi” putusan hakim tersebut, ada baiknya pemerintah menjalankan putusan hakim secara patuh. Sebab, setiap langkah pemerintah dalam suatu perkara akan memberikan percontohan kepada masyarakat luas.
Terhadap putusan hukum tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD mempersilakan pengusaha Jusuf Hamka menagih utang pemerintah sebesar Rp 800 miliar kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Mahfud telah ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat internal pada 23 Mei 2022, untuk mengkoordinir pembayaran utang pemerintah kepada pihak swasta ataupun masyarakat. Perintah presiden itu disampaikan secara resmi dalam rapat internal 23 Mei 2022, yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya keputusan Menko Polhukam nomor 23 tahun 2022 tanggal 30 Juni 2022.
Melalui surat keputusan tersebut juga telah dibentuk tim yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, hingga Kepolisian untuk meneliti dan menentukan pembayaran kepada pihak-pihak yang sudah diwajibkan oleh pengadilan. Hasil laporan tersebut kemudian juga telah disampaikan kepada Presiden Jokowi selaku pimpinan tertinggi pemerintahan. Presiden Jokowi kembali memerintahkan agar utang tersebut segera dibayarkan melalui rapat kabinet pada 13 Januari 2023 kemarin. Presiden menyampaikan apabila selama ini kalau swasta atau rakyat memiliki utang kita menagih dengan disiplin, tetapi kita juga harus konsekuen kalau kita yang mempunyai utang kita harus membayar.
Bukan tidak mungkin pemerintah memang memiliki utang yang belum dibayarkan kepada Jusuf Hamka. Oleh karenanya, Jusuf Hamka dapat menagih piutangnya kepada Kementerian Keuangan. Mahfud siap memberikan bantuan teknis terhadap Jusuf apabila memang dibutuhkan dalam proses pencairan piutang tersebut. Misalnya, dengan memo atau surat yang diperlukan.
Pemerintah juga akan berupaya membayar seluruh utangnya kepada pihak swasta maupun rakyat. Mahfud meminta agar pihak-pihak yang memiliki piutang kepada pemerintah untuk menagihnya melalui Kementerian Keuangan. Karena itu adalah kewajiban hukum negara dan atau pemerintah terhadap rakyatnya dan terhadap swasta yang melakukan usaha secara sah dan transaksi sah.
Serangan Balik Kemenkeu
Namun Kementerian Keuangan menyebut bahwa permasalahan tagihan utang memiliki kompleksitas tinggi, bahkan sampai menuding bahwa Grup Citra (CMNP) milik Jusuf Hamka malah memiliki utang ratusan miliar kepada pemerintah. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut ketentuan penjaminan atas deposito CMNP tidak mendapatkan penjaminan pemerintah karena adanya afiliasi dengan Bank Yama yang gagal hingga akhirnya dilikuidasi oleh pemerintah.
Hal tersebut membuat permohonan pengembalian ditolak oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yakni lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan penyehatan perbankan. Pembayaran deposito tersebut bukan negara memiliki kewajiban kontraktual kepada perusahaan jalan tol itu. Melainkan, hakim berpendapat bahwa negara bertanggung jawab atas gagalnya Bank Yama mengembalikan deposito perusahaan milik Jusuf Hamka.
Bahkan Menkeu Sri Mulyani menyebut kasus ini harus dilihat secara keseluruhan dari perspektif persoalan masa lalu. Karena terkait dengan persoalan bank yang diambil alih oleh pemerintah saat memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), di mana di situ ada berbagai prinsip-prinsip mengenai afiliasi dan kewajiban dari mereka yang terafiliasi. Dalam hal ini ada proses hukum di pengadilan, namun di sisi lain juga satgas BLBI yang diketuai Mahfud MD sebagai ketua tim pengarah, bahwa pemerintah masih mempunyai tagihan yang cukup signifikan termasuk kepada pihak-pihak yang terafiliasi dengan Bank Yama yang dimiliki Siti Hardianti Rukmana, Tutut putri presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. CNMP, kontraktor jalan tol yang saat ini dikendalikan Jusuf Hamka diketahui awalnya didirikan oleh Tutut Soeharto.
Fakta adanya berbagai hubungan di antara CMNP dan Bank Yama menjadi fokus di Kementerian Keuangan mengenai kewajiban negara. Jangan sampai negara yang sudah membiayai bail out dari bank-bank yang ditutup dan sekarang masih dituntut lagi untuk membayar berbagai pihak yang mungkin masih terafiliasi waktu itu.
Sehingga jangan sampai negara malah harus membayar kembali bank-bank yang sudah diselamatkan atau di-bailout negara kala krisis moneter 1998. Masih banyak uang BLBI yang belum kembali ke negara. Utang BLBI belum sepenuhnya kembali, kalau dilihat dari Rp 110 triliun baru Rp 30 triliun yang kembali.
Permasalahan keterkaitan BLBI dan afiliasinya dengan pihak lain, termasuk deposan, adalah sesuatu yang perlu dipelajari betul secara teliti. Pemerintah di satu sisi tetap menghormati proses hukum, tetapi pemerintah juga melihat berbagai kepentingan negara dan kepentingan dari keuangan negara terutama menyangkut masalah yang sudah sangat lama. Di dalam satgas BLBI dibahas secara lebih detail.
Bahkan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban mengungkapkan bahwa saat likudasi Bank Yama, CMNP masih dalam pengendalian bank yang didirikan oleh putri Presiden Soeharto, Siti Hardianti Rukmana atau Tutut. Pada masa itu, CMNP ada di dalam pengendalian pemegang saham yang memiliki Bank Yama. Walaupum realitasnya selanjutnya ada putusan pengadilan.
Karena kondisi yang cukup kompleks dan berbelit, Kementerian Keuangan sangat berhati-hari agar persepsi yang muncul tidak keliru. CMNP sendiri memiliki utang ratusan miliar kepada pemerintah lewat tiga perusahaan dalam naungan Grup Citra. (*)