Home / Politik / PDIP: Indonesia Tak Bisa Dibangun oleh Dendam Kalah Pemilu

PDIP: Indonesia Tak Bisa Dibangun oleh Dendam Kalah Pemilu

bidik.co — PDIP merasakan adanya aroma politik balas dendam dari serangkaian manuver yang dibuat Koalisi Merah Putih. Namun PDIP menyatakan tak gentara untuk menghadapinya.

“Posisi politik PDIP sebagai Partai yang berada di luar pemerintahan selama 10 tahun dibangun oleh kesadaran untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia, bukan oleh dendam politik,” kata Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Jumat (3/10/2014).

Hasto menduga ada upaya untuk mengembalikan kondisi Indonesia seperti di zaman Orde Baru. Upaya ini disebutnya karena dendam kalah pemilu. Hasto menyebut sejumlah tokoh Koalisi Merah Putih sebagai motor penggerak upaya ini.

“Simbiosis kekuatan Orde Baru, yang menjadi Neo Orde Baru yang kini tampil dengan politik bumi hangus atas dasar kekalahan di pemilu legislatif dan pilpres,” ujarnya.

Hasto menyinggung soal pemilihan pimpinan DPR yang dimenangkan Koalisi Merah Putih. Dia mengingatkan kemenangan itu ditempuh dengan melakukan sejumlah manuver yang tak menghormati fatsun politik yang baik.

“Nilai musyawarah dan tradisi demokrasi yang sehat telah dikalahkan oleh ambisi kekuasaan buta yang mencabut hak politik rakyat,” ujarnya.

“PDIP mengajak seluruh kelompok pro demokrasi untuk bersama-sama membela hak rakyat yang berdaulat, sebab Indonesia yang begitu besar tidak bisa dibangun oleh dendam politik,” imbuh Hasto.

Apakah benar dendam politik hanya ditujukan pada Koalisi Merah Putih? Hal itu sebenarnya juga terjadi saat Megawati dikalahkan oleh SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009.

Di Pilpres 2004 SBY berduet dengan Jusuf Kalla sementara Mega berduet dengan Hasyim Muzadi. Memasuki masa kampanye Pilpres hubungan Mega-SBY semakin jauh. Pada 16 September 2004, saat debat capres di televisi, Mega berpesan kepada panitia bahwa tidak ada acara jabat tangan antarsesama capres.

Namun akhirnya Mega harus mengakui kekalahan atas SBY di putaran dua Pilpres. Pada 5 Oktober 2004 tepat pada Hari TNI ke-59, Presiden Megawati berpesan agar semua pihak legowo menerima hasil pilpres, sembari menitikkan air mata.

Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa pemenang pilpres adalah SBY. SBY hadir dalam HUT TNI itu dan menjadi ‘bintang lapangan’. Tempat duduk SBY dan Mega diatur sedemikian rupa sehingga keduanya tidak berjumpa.

Pada 20 Oktober 2004 SBY membacakan sumpah presiden. Mega yang diundang menolak datang dengan alasan agar khusyu mendoakan acara SBY itu berjalan lancar. Faktanya, Mega memilih berkebun dan membaca buku di rumahnya di Kebagusan, Jaksel.

20 Oktober 2004 sore: Mega mengundang warga sekitar dan kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan. “Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!” pidato Mega kala itu. Saat Mega bertanya apakah kader PDIP siap merebut kembali “kursi” yang lepas itu, hadirin menjawab,”Siaaap!”

Namun ternyata fakta berkata lain. Pada Pilpres 2009 Mega harus mengakui kekalahan atas SBY lebih cepat. Mega yang berduet dengan Prabowo Subianto tumbang hanya dalam satu putaran. SBY menang telak lebih dari 60 persen.

Setelah itu PDIP kembali berada di posisi oposisi. Namun, hubungan personal SBY dan Taufiq Kiemas setelah Pilpres 2009 perlahan-lahan semakin membaik. Bahkan Taufiq Kiemas didukung SBY menduduki kursi Ketua MPR. Sejak saat itu SBY dan Taufiq Kiemas kerap menjalin komunikasi.

Taufiq Kiemas kerap membawa putrinya, Puan Maharani, menemui SBY di Istana Negara. Banyak yang mengatakan Taufiq Kiemas sedang menitipkan anak kesayangannya ke SBY sekaligus mencoba menengahi benang kusut komunikasi SBY-Mega. Bahkan Taufiq tak segan beberapa kali bilang PD dan PDIP bisa berkoalisi di Pilpres 2014.

Namun Mega beberapa kali tetap tak menghadiri peringatan HUT RI di Istana Negara. Mega kerap memilih menggelar upacara di DPP PDIP di Lenteng Agung atau di Kebagusan, Jakarta Selatan. Di sejumlah acara kenegaraaan Mega juga tak hadir. Namun Mega sempat hadir saat SBY mengajaknya makan malam bersama Presiden AS Barack Obama yang sedang berkunjung ke Indonesia.

Kini setelah Taufiq Kiemas tiada, hubungan Mega-SBY jarang terdengar gaungnya. Sampai kemudian secara mengagetkan SBY berbicara melalui Youtube pada akhir April dan awal Mei 2014 bahwa dirinya ingin menjalin komunikasi dengan Megawati. Namun pernyataan ini tak direspons oleh Mega, sejumlah elite PDIP juga terkesan dingin menanggapi hal ini.

Namun SBY tak menyerah begitu saja. SBY kembali melempar pernyataan soal penolakan terhadap capres yang berjanji muluk-muluk menasionalisasi aset dan kembali ke UUD 1945. Soal nasionalisasi aset ini cukup sensitif untuk Mega. Banyak pihak melihat SBY sedang mencoba menjaga dan menyenangkan hati Mega.

Lalu apakah sikap kenegarawanan SBY untuk mengalah ini bakal mengakhiri jejak panjang ‘perang dingin’ dengan Mega? (ai)

Komentar

Komentar

Check Also

Nuroji: Pilkada Harus Jadi Ajang Pendidikan Politik Bagi Masyarakat

Bidik.co— Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 bakal digelar pada November 2024. Pilkada yang terdiri …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.