Home / Politik / PDIP Inginkan Pimpinan MPR Dipilih secara Musyawarah

PDIP Inginkan Pimpinan MPR Dipilih secara Musyawarah

bidik.co — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berharap agar pemilihan kursi pimpinan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) bisa dilakukan secara musyawarah yang bisa diterima semua fraksi di parlemen. Apabila ternyata tak bisa, maka PDI-P akan tetap berjuang dengan menyiapkan langkah bersama mitra koalisi lainnya.

“Yang jelas tentunya kami masih berharap karena ini lembaga MPR, harusnya masih ada ruang musyawarah. Tetapi kami menyadari, jika tidak ada ruang itu, maka kami mempersiapkan langkah yang kami diskusikan ini,” ujar politisi senior PDI-P, Pramono Anung, di kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Jakarta, Minggu (5/10/2014).

Pramono berharap agar yang diajukan nantinya adalah paket bersama. Menurut mantan Wakil Ketua DPR itu, lembaga MPR seharusnya menjadi representasi dari sistem musyawarah. “MPR juga selama ini tidak ada pemungutan suara,” kata dia.

PDI-P telah melobi Partai Golkar melalui Ketua DPR Setya Novanto terkait susunan pimpinan MPR yang akan disahkan pada Senin (6/10/2014). PDI-P meminta agar diberi jatah kursi pimpinan MPR sehingga semua fraksi memiliki posisi pada susunan DPR dan MPR periode 2014-2019.

Di sisi lain, Koalisi Merah Putih juga sudah siap-siap menyerahkan sejumlah nama calon pimpinan MPR, seperti Nurhayati Ali Assegaf (Partai Demokrat), Mahyuddin (Golkar), dan perwakilan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk menduduki kursi pimpinan MPR. Satu kursi lainnya masih dalam tahap pembahasan para elite koalisi.

Sistem pemilihan pimpinan MPR sama seperti memilih pimpinan DPR. Setiap koalisi harus mengajukan paket calon pimpinan. Namun, untuk MPR, jatah partai politik hanya empat kursi. Satu kursi lainnya menjadi milik Dewan Perwakilan Daerah.

Sementara itu Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menilai, politisi PDI Perjuangan Pramono Anung tidak memahami sejarah terkait pernyataan bahwa pemilihan pimpinan MPR melalui voting tidak pernah ada sebelumnya.

“Pemilihan pimpinan MPR melalui voting sudah dilakukan sejak 1999. Pemilihan pimpinan MPR dilakukan malam hari 3 Oktober. Pemungutan suara kemudian memilih Amien Rais sebagai Ketua MPR,” kata Saleh Partaonan Daulay dihubungi, Senin (6/10/2014).

Sebelumnya, Pramono ingin agar pimpinan MPR 2014-2019 dilakukan secara musyawarah. Lembaga MPR seharusnya menjadi representasi dari sistem musyawarah. Apalagi, kata dia, MPR selama ini tidak melakukan pemungutan suara ketika memilih jajaran pimpinan.

Saleh mengatakan, MPR hasil Pemilu 1999 memunculkan beberapa nama untuk bersaing menjadi pimpinan MPR antara lain Amien Rais, Husnie Thamrin, Nazri Adlani, Matori Abdul Djalil, Ginanjar Kartasasmita, Kwik Kian Gie, Hari Sabarno dan Yusuf Amir Faisal.

Dari beberapa nama itu kemudian mengerucut pada dua nama, yaitu Amien Rais dan Matori Abdul Djalil. Dalam pemilihan suara yang diikuti 647 anggota MPR, Amien mendapatkan 305 suara sedangkan Matori mendapatkan 279 suara.

“Pemilihan itu berlangsung sangat demokratis. Semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada. Tidak ada yang walk out dan membuat pernyataan yang menyudutkan pemenang,” tutur anggota Fraksi PAN di DPR itu.

Pada 2004, pemilihan pimpinan MPR melalui voting juga kembali dilakukan. Perbedaaanya, saat itu pimpinan dipilih sekaligus dengan sistem paket.

Paket A (Koalisi Kebangsaan) terdiri atas Sutjipto (PDI Perjuangan), Theo L Sambuaga (Golkar), Aida Zulaika Ismeth Nasution (DPD) dan Sarwono Kusumaatmaja (DPD). Paket B (Koalisi Kerakyatan) mencalonkan Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa (PAN), HM Aksa Mahmud (DPD), dan Dr Mooryati Soedibyo (DPD). Sementara Paket C adalah pilihan abstain.

“Pemilihan diikuti 668 anggota MPR dilaksanakan pada siang hari 6 Oktober 2004. Hasilnya, Paket A meraih 324 suara, Paket B mendapat 326 suara, Paket C 13 suara dan terdapat 10 suara tidak sah,” katanya.

Karena itu, Saleh menilai pernyataan Pramono mengenai tata cara voting untuk memilih pimpinan MPR tidak pernah ada dalam sejarah merupakan suatu hal yang tidak tepat.

“Fakta historis seperti ini semestinya tidak dilupakan. Kan belum begitu lama. Semuanya masih mudah diingat dan segar dalam memori dan ingatan banyak orang,” ujarnya.

Karena itu, Saleh justru mempertanyakan pernyataan Pramono. Ia berpendapat perlu ditelusuri apa motif di balik pernyataan itu.

“Jangan-jangan hanya untuk menggiring opini bahwa pemilihan pimpinan MPR lewat voting dianggap tidak sah. Kalau itu yang dimaksud, tentu muatan politiknya sangat besar. Kasihan masyarakat dengan opini yang tidak berdasar seperti itu,” pungkasnya. (ai)

 

Komentar

Komentar

Check Also

Bupati Siak, Alfedri Tak Siap Temui Masyarakat

Bidik.co — Jakarta- Eks Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa (Hipemasi) Jakarta memberitahukan saat rapat kerja kordinator …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.