Hamdan Zoelva
Bagi Mahkamah Konstitusi, putusan merupakan mahkota, lambang kewibawaan dan kehormatan yang dijunjung tinggi. Putusan menjadi tolok ukur paling utama untuk melihat perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Di dalam putusan, akan tercermin semangat, paradigma, dan pandangan Mahkamah Konstitusi, terutama bagaimana Mahkamah Konstitusi memposisikan konstitusi sebagai a living law dan keadilan konstitusi sebagai penjuru dalam setiap penyelesaian perkara konstitusi.
Sebagaimana halnya di berbagai negara, antara lain: Austria, Jerman, Korea Selatan, Thailand, Mahkamah Konstitusi didesain sedemikian rupa sebagai lembaga pengawal konstitusi. Demikian pula di Indonesia, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menjaga dan mengawal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi negara hukum Indonesia.
Maka dari itu, agar segala ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dipraktikkan, diperlukan mekanisme untuk menegakkannya dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan konstitusi pada tingkat paling akhir (the sole interpreter of the constitution). Hasil penafsiran tersebut kemudian dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga memiliki daya laku dan daya ikat.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan konstitusi pada dasarnya timbul dari pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.
Jika tidak diberi kewenangan menafsirkan konstitusi, tidak mungkin Mahkamah Konstitusi dapat menentukan apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya, penafsiran konstitusi merupakan wilayah khas bagi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi.
Mengapa konstitusi harus ditafsirkan?
Argumentasinya sederhana, tidak akan ada hukum tertulis yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Manakala seseorang mengatakan suatu ketentuan hukum tertulis sudah jelas dan lengkap sehingga tidak membutuhkan aktifitas penafsiran, maka seseorang itu pada dasarnya telah melakukan penafsiran.
Pengutaraan hukum dalam bentuk tertulis sekadar bentuk dari upaya untuk menyuarakan gagasan, pikiran atau semangat para pembuat hukum. Karena itu, usaha untuk menggali gagasan, pikiran atau semangat tersebut merupakan bagian penting yang harus dilakukan dalam menegakkan hukum.
Menurut ajaran hukum, aktivitas menafsirkan hukum sebenarnya merupakan alat bantu untuk memberi arti, mengetahui maksud atau rasio suatu ketentuan hukum.
Sejalan dengan itu, penafsiran konstitusi diperlukan sebagai alat bantu untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks konstitusi sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan perkara atau persoalan konstitusional yang sedang terjadi. Dengan kalimat lain, penafsiran konstitusi merupakan metode dalam rangka penemuan hukum yang bersumber dari undang-undang dasar.
Untuk menafsirkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki keleluasaan karena Mahkamah Konstitusi tidak terikat pada ketentuan apapun selain Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Ketentuan demikian, kemudian diturunkan ke dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dalam sumpah dan janji hakim konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 21 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa hakim konstitusi hanya terikat pada Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki kemerdekaan untuk memilih dan menggunakan metode penafsiran konstitusi mana yang diyakini dan dianggap paling tepat untuk menyelesaikan perkara.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lahir melalui Perubahan UUD 1945, tepatnya pada Perubahan Ketiga yang disahkan oleh MPR pada tahun 2001. Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia bermula dari pemikiran mengenai pentingnya mekanisme judicial review, khususnya pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pemikiran judicial review undang-undang dapat dilacak sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Saat itu, Moh. Yamin telah mengusulkan agar Balai Agung (istilah yang digunakan untuk menyebut Mahkamah Agung) memiliki kewenangan membanding Undang-undang.
Namun karena perbedaan konsepsi bernegara, yang saat itu ditegaskan oleh Soepomo tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan, serta alasan praktis belum tersedianya sarjana hukum yang berpengalaman di bidang tersebut, pendapat Moh. Yamin itu tidak dapat diterima sebagai hukum positif.
Namun demikian, pendapat yang menilai pentingnya judicial review terhadap Undang-undang ini kembali mengemuka di berbagai momentum, antara lain saat peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru yang diusulkan oleh MPRS ketika mengkaji produk-produk hukum masa Orde Lama, dan pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tahun 1970, namun tidak terealisasi.
Judicial review kembali mengemuka pada saat proses pembahasan Perubahan UUD 1945 mulai tahun 1999 dan akhirnya diterima dan disahkan sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945 yang dilanjutkan dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tersendiri di samping Mahkamah Agung.
Melalui putusan-putusan yang telah dijatuhkan, Mahkamah Konstitusi telah banyak mendorong, menegaskan, bahkan memulai hal-hal baru baik dilihat dari sisi substansi maupun prosedur sehingga memberikan warna dalam kehidupan hukum dan peradilan di Indonesia.
Salah satu perkembangan yang dapat dianalisis dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal penafsiran konstitusi yang tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan pengawal demokrasi (the guardian of democracy).
Secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari pengakuan terhadap supremasi konstitusi sebagai salah satu ciri negara hukum. Konstitusi menjadi hukum tertinggi karena merupakan wujud perjanjian sosial seluruh rakyat yang memiliki kedaulatan di suatu Negara. Konstitusi sebagai kesepakatan bersama bahkan disebut sebagai civil religion, yang berarti pedoman dan panduan untuk menjalani kehidupan bersama sebagai satu negara.
Di dalam konstitusi memuat landasan nilai bersama, tujuan nasional, jaminan hak warga negara, serta dasar-dasar mekanisme dan kelembagaan penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan Negara. Artinya, konstitusi menentukan apa yang hendak diraih, apa yang harus dilakukan dalam bernegara, serta siapa atau lembaga apa saja yang harus melakukannya.
Mengingat konstitusi merupakan hukum dasar, maka dari sisi substansi hanya berisi norma dasar, sedangkan pengaturan dan pelaksanaannya didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara sesuai dengan kewenangan masing-masing, terutama oleh lembaga legislatif melalui pembuatan undang-undang sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan negara. Tentu saja ada jarak antara konstitusi dengan apa yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana pemerintahan.
Jarak itulah yang memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian atau pertentangan. Oleh karena itu, Hans Kelsen menyatakan perlu adanya mekanisme dan lembaga yang menjamin pelaksanaan konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan khusus.
Wujud kewenangan mengawal supremasi konstitusi yang pertama kali muncul adalah melalui pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang pada awalnya justru dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs Madison.
Walaupun Konstitusi Amerika Serikat tidak memberikan kewenangan judicial review, namun atas dasar sumpah hakim agung untuk menjaga konstitusi, para hakim agung saat itu berpendapat bahwa Mahkamah Agung dapat membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam perkembangannya, fungsi mengawal konstitusi yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di berbagai Negara semakin berkembang, tidak hanya melalui kewenangan judicial review.
Kewenangan-kewenangan lain diberikan kepada Mahkamah Konstitusi di negara-negara modern untuk menjamin tegaknya konstitusi yang tidak dapat ditempuh melalui judicial review.
Kewenangan itu antara lain adalah memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara, memutus sengketa hasil Pemilu, memutus pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusional (constitutional question), serta memutus pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Dengan demikian, hakikat fungsi keberadaan MK adalah untuk mengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Fungsi inilah yang diemban melalui kewenangan yang dimiliki.
Dalam konteks MK Indonesia, fungsi mengawal konstitusi dijalankan melalui empat kewenangan dan satu kewajiban yang diamanatkan oleh Pasal 24C UUD 1945, yaitu; pertama, memutus pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kedua, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara,
ketiga, memutus perselisihan hasil Pemilu, keempat, memutus pembubaran partai politik, dan kelima, memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Keempat wewenang dan satu kewajiban tersebut sejatinya adalah kewenangan memeriksa dan memutus konstitusionalitas, yaitu konstitusionalitas suatu Undang-undang, konstitusionalitas kewenangan lembaga Negara, konstitusionalitas partai politik, konstitusionalitas Pemilu, dan konstitusionalitas jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebagai konsekuensi logis dari hakikat keberadaan sebagai pengawal konstitusi, dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya Mahkamah Konstitusi harus mengawal substansi konstitusi yang bersumber dari paham konstitusionalisme.
Konstitusi pada prinsipnya memuat tiga hal penting, yaitu; pertama, jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, kedua, dasar-dasar mekanisme demokrasi, dan ketiga, pengaturan kelembagaan negara.
Ketiga hal tersebut saling terkait yang harus dibingkai dalam kerangka dasar negara, yaitu Pancasila sebagai landasan konstitusionalisme Indonesia.
Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2013-2015.