bidik.co — Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo terkait pengosongan identitas agama di kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), menuai kritik dari banyak pihak, salah satunya dari organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
“Indonesia adalah negara berketuhanan (Sila I Pancasila),” tutur Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia, Ali Hamzah dalam pesan singkatnya kepada bidik.co, Minggu (9/11/2014).
Karena itu, Ali mengajak kepada semua pihak untuk bersama-sama menolak kebijakan penghapusan kolom agama di KTP.
“Tolak kebijakan penghapusan kolom agama di KTP,” katanya.
Selain itu, Ali juga meminta kepada pemerintah agar dalam penyelenggaraan negara mengacu pada aturan yang berlaku.
“Selenggarakan negara dengan mengacu kepada aturan. Negara ini bukan semau loe,” tandas Ali.
Berbeda dengan yuniornya, Alumni PII, Fami Fachrudin mengingatkan bahwa diskusi mengenai KTP tanpa kolom agama ini penting diperkenalkan untuk memberi cakrawala yang lebih luas terhadap masyarakat.
“Buat saya, diskursus KTP tanpa kolom agama ini penting diperkenalkan meski saya tahu banyak orang yg marah. Diskursus yg saya lontarkan sejatinya beda dg pengosongan kolom agama spt disebut mendagri yg merujuk pada UU yg ada..,” tandas mantan Ketua Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) ini yang dikutip bidik.co dalam status facebooknya, Minggu (9/11/2014).
Selanjutnya Fami menjelaskan bahwa diskusi mengenai penghapusan kolom agama di KTP tidak jauh berbeda dengan diskusi tentang penolakan terhadap partai Islam 30 tahun yang lalu.
“Dulu, ketika pertama diperkenalkan, “islam yes partai islam no” juga banyak mengundang kemarahan, namun setelah lebih 30 tahun, anak-anak muda skr bisa memahami bedanya “partai yg islami” dengan “partai islam” — thanks to “jonru” and his kind in this world..,” tandas alumni Arizona State University ini.
Fami juga mengingatkan, pengisian kolom agama ini persoalan administrasi saja, karena yang pertama kali diperkenalkan pada era Orde Baru, sehingga tidak ada kaitannya dengan aqidah atau marwah ummat atau bagian penting lainnya dari Islam.
“Kepada mereka yg menganggap kolom agama seolah bagian dari islam itulah saya ingin berbagi pandangan.., yg digulirkan mendagri sebenarnya tdk substantif krn beliau hanya follow the rule, mengabarkan pada khalayak bahwa aturan itu sdh ada di UU yg dibuat oleh koalisi yg didalamnya ada partai2 islam kemarin dulu itu…, ” tandas Fami.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan warga Negara Indonesia (WNI) penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh Pemerintah boleh mengosongi kolom Agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
“Itu kepercayaan, sementara kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama untuk membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum,” kata Tjahjo di Gedung Kemendagri Jakarta, Kamis (6/11/2014).
Dengan demikian, artinya WNI pemeluk keyakinan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan dan Malim, namun di KTP tertera sebagai salah satu penganut agama resmi boleh mengoreksi kolom agama mereka.
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui Pemerintah.
Sehingga, untuk mengisi kolom agama dengan keyakinan memerlukan waktu untuk melakukan perubahan atas UU tersebut. “Dalam Undang-undang jelas ada enam agama yang boleh dicantumkan dalam e-KTP, sehingga kalau ingin ditambah akan memerlukan waktu untuk mengubahnya. Tapi kalau mereka mau mengkosongkan kolom itu ya tidak masalah,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Irman mengatakan pihaknya sudah mendiskusikannya dengan kelompok agama mengenai kolom keyakinan tersebut.
“Kami sudah pernah membahasnya dengan MUI dan NU serta diundang oleh Wantimpres. Memang ada perdebatan yang di satu pihak mengatakan semua boleh dicantumkan, tetapi sebagian besar menyatakan Negara berhak melakukan pembatasan agama yang bisa didaftarkan. Sehingga, kesepakatannya adalah dalam kolom agama di KTP hanya untuk agama yang sudah diakui,” jelas Irman. (*)