Rio Chandra Kesuma
Siklus pergantian tahun yang akan sesegera usai dan berakhir dapatlah dijadikan sebuah momentum untuk merefleksi sekaligus mengevaluasi praktik penegakan hukum (law enforcement) yang dijalankan oleh lembaga penegak hukum, dan untuk selanjutnya memberi catatan konstruktif sebagai proyeksi ke depan guna perbaikan di masa – masa mendatang (forward looking).
Melihat diskursus praktik penegakan hukum dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sepanjang tahun 2018, secara kasat mata belum dapat memberikan hasil yang membanggakan, baik dari aspek kinerja yang profesional, proses penegakan hukum yang berdasarkan proses hukum (due process of law), maupun etos kerja dan penegak hukum yang masih sangat jauh dari nilai – nilai idealisme yang berintegritas (high integrity).
Tulisan ini mencoba melihat beberapa lembaga penegak hukum strategis, yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan publik di dalam menangani perkara hukum krusial.
Pertama, lembaga Kepolisian. Lembaga ini tidak pernah berhenti menjadi fokus perhatian publik, hal ini dikarenakan kepolisian secara langsung berhadapan dengan berbagai persitiwa hukum (tindak pidana) yang terjadi di masyarakat.
Selain itu peran dan fungsi kepolisian yang juga cukup vital di dalam konsep sistem peradilan pidana _(integrated criminal justice system)_ sebagaimana yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro (1993), bahwa lembaga Kepolisian merupakan komponen subsistem yang berkedudukan sebagai gatekeepers (penjaga pintu gerbang awal) dari sistem peradilan pidana. (John Baldwin dan A. Keith Bottomley, 1978: 35)
Kedudukan dan posisi kepolisian sebagai organ vital dalam praktik penegakan hukum, ditambah dengan kewenangan yang cukup besar, menjadikan arogansi serta ego sektoral kelembagaan kian menguat dari hari ke hari. Konsekuensi dari hal tersebut tentu membuat besarnya potensi overlapping kewenangan dalam arti pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kepolisian.
Salah satu contoh konkrit dalam konteks overlapping tupoksi kepolisian ialah penanganan gerakan separatis di Papua pada awal Desember 2018 yang lalu, di mana lembaga kepolisian menjadi penentu (leading sector). Hal ini tentu sangatlah salah arah, pelabelan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagaimana yang didalilkan dan dijadikan dasar (legalitas) oleh kepolisian merupakan cara pandang yang keliru (fallacy).
Sebab, sudah sangat mutlak dapat diidentifikasi bahwa serangkaian aksi yang dilakukan oleh gerombolan/kelompok di Papua bukanlah aksi kriminal biasa (ordinary crime), namun hal tersebut sudah masuk dalam kategorisasi gerakan separatis yang dilakukan oleh pemberontak yang menolak eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki tujuan ideologis yang mengancam integrasi bangsa, menentang kedaulatan NKRI, serta memiliki tujuan untuk memisahkan diri, sehingga bukan pada tempatnya kepolisian menjadi penentu (leading sector) dalam hal penanggulangan kelompok/gerombolan bersenjata tersebut, melainkan TNI -lah yang seharusnya sebagai alat pertahanan negara mengambil alih (hadir) guna memberantas gerakan separitis tersebut.
Kedua, lembaga Kejaksaaan yang memiliki rapor dan rekam jejak (track record) yang paling tidak mengembirakan sekaligus menghkawatirkan dibandingkan dengan lembaga aparatur penegak hukum yang lain. Tidak tahu mengapa, Korps Kejaksaan pada rezim pemerintahan saat ini, khususnya dalam mengungkap dan menangani beberapa perkara hukum yang terjadi akhir – akhir ini sangatlah sarat dengan order kepentingan (intervensi).
Apabila dievaluasi serta dikritisi, Korps Kejaksaan yang seharusnya berjalan secara independent (mandiri), imparsial (tidak memihak) seakan memiliki afiliasi dengan kepentingan (politis) pihak tertentu.
Sejatinya, memang kalau ingin dibedah secara normatif tekstual di dalam tata aturan, sebagaimana yang ada di dalam UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, terdapat ambivalensi kedudukan dan peran lembaga kejaksaaan, di satu sisi sebagai lembaga pemerintah/eksekutif (sebagai unsur pemerintah/pembantu Presiden) dan di sisi yang lain memiliki tupoksi dan wewenang di bidang penegakan hukum dalam hal penuntutan, yang masuk dalam ranah yudikatif.
Ketiga, ialah lembaga sensasional bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mungkin hampir setiap hari menjadi konsumsi publik di berbagai media pemberitaan. Sejatinya KPK memang diharapkan menjadi pahlawan sejati (the real hero) pada hari ini guna menjawab stagnansi dalam praktik penegakan hukum, khususnya dalam bidang pemberantasan korupsi.
Namun, apa daya KPK hari ini seakan membuat pentas (panggung) pertunjukan sendiri (one man show), dan selalu berharap serta mengharap simpati publik akan pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan, dengan harapan selalu mendapat dukungan (support) dari masyarakat luas secara massive.
Tentunya, apabila ditelisik lebih jauh memang tidak ada yang keliru dengan praktik penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, hanya saja sesungguhnya KPK telah salah arah/tujuan dalam memberikan prioritas pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yang sejatinya telah keluar dari ruh dan filosofi UU KPK itu sendiri.
KPK sejatinya memang tetap pantas untuk mendapatkan apresiasi dan simpati publik, khususnya dalam hal kuantitas (jumlah) kasus korupsi yang dapat diselesaikan dan diungkap, terutama yang bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK.
Sepanjang tahun 2018 saja berdasarkan data yang direlease oleh lembaga anti rasuah tersebut (Kompas, 2018), KPK berhasil melalukan sebanyak 29 kali Operasi Tangkap Tangan (OTT), 22 di antaranya merupakan kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Jumlah ini tentu merupakan sejarah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terbanyak yang pernah dilakukan oleh KPK, sejak lembaga anti rasuah tersebut terbentuk pada tahun 2002.
Aspek kuantitas tersebut justru sangat berbanding terbalik dengan nilai kualitas materi kasus (perkara) yang digarap oleh KPK, yang sesungguhnya merupakan role model ideal yang menjadi dasar filosofi pembentukan lembaga KPK. Disinilah catatan kritis konstruktif terhadap KPK yang dalam perjalanannya telah offside dari khittah dan marwah-nya dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Stakeholder terkait tentu haruslah melihat kembali sandaran filosofis dari pembentukan lembaga KPK. Hal tersebut guna memperlihatkan praktik pemberantasan korupsi oleh KPK yang hari ini berjalan ‘salah arah/tujuan’.
Bila dianalogikan dengan ‘pembasmi(an) hama’ yang harus dilakukan di puncak gunung, yang mana telah diberikan jalur khusus untuk secara langsung mendaki titik puncak gunung tersebut, di mana tidak dimiliki oleh para pendaki lainnya, namun pembasmi hama (yang dianalogikan KPK tersebut) masih berkutat untuk membasmi hama di kaki gunung yang sangat landai dengan riuh, gaduh serta berputar-putar, tidak langsung menuju puncak untuk membasmi hama yang ada di puncak gunung tersebut.
Pararel dengan analogi tersebut, realitas yang ada di KPK hari ini, KPK tidak mengarahkan skala prioritas terhadap kasus–kasus korupsi yang mempunyai nilai (value) substansial dan nilai material yang besar (high value), seperti; pada bidang SDA, Migas, Pertambangan, Perbankan dan bidang-bidang strategis lainnya (mega corruption), dan tidak juga menyasar pada korupsi di sektor penerimaan dan/atau pendapatan negara yang mana orientasi akhirnya ialah pada pemulihan biaya dan asset (cost and asset recovery).
Hal tersebut lantas bukan berarti KPK harus ‘tutup mata’ terhadap kasus-kasus korupsi lainnya, akan tetapi di sinilah peran dari lembaga (institusi penegak hukum) lain, selain KPK untuk menanggulanginya (fungsi koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan).
Konsekuensi logis dari hal tersebut berarti, KPK tetaplah harus mengedepankan fungsi (strategis) lainnya, yakni koordinasi dengan instansi (penegak hukum), supervisi, penindakan hingga pencegahan dan monitoring atau pengawasan. Inilah ‘asbabun nuzul’ dari tupoksi KPK yang sebenarnya, yang andaikan direalisasikan secara murni dan konsekuen oleh KPK akan lebih memberikan hasil yang optimal dan maksimal dalam pemberantasan masalah korupsi yang sudah mengakar di Indonesia.
Demikianlah, beberapa catatan penutup tahun sekaligus pembuka tahun (baru), terkait dengan refleksi, evaluasi dan proyeksi lembaga penegak hukum strategis di tanah air. Semoga siklus pergantian tahun akan meninggalkan perihal semua catatan negatif dalam praktik penegakan hukum di tahun yang lalu. Semoga !
Penulis ialah peneliti pada Center For Democracy and Civilization Studies (CDCS), Praktisi Hukum (Advokat) di Palembang & Jakarta, Tenaga Ahli DPR RI dan Ketua IMMH UI.