Home / Catatan / RELASI KUASA

RELASI KUASA

Bidik.co — Dalam sidang etik yang menjatuhkan sanksi pecat terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) Hasyim Asy’ari, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Wiarsa Raka Sandi mengatakan ada unsur “relasi kuasa” antara Hasyim dan CAT (korban). Relasi kuasa ini membuat korban kesulitan menolak permintaan pelaku.

“Hubungan istimewa ini tidak lepas dari adanya relasi kuasa antara pengadu dan teradu sesuai keterangan ahli Anies Hidayah selaku Komisioner Komnas HAM yang disampaikan dalam sidang pemeriksaan,” kata Wiarsa dalam sidang DKPP. Lalu apa sebenarnya relasi kuasa itu?

Relasi Kuasa

Relasi kekuasaan merupakan hubungan yang terbentuk dari berbagai pola relasi antar-manusia yang kemudian membawa suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan tertentu. Secara harfiah, istilah ini merujuk pada kondisi terbentuknya hubungan antara suatu individu yang memiliki tingkat kekuasaan lebih tinggi dengan individu lain yang memiliki tingkat kekuasaan di bawahnya.

Pola hubungan ini terjadi akibat adanya hierarki dalam suatu kelompok, yang mana tingkatan kekuasan adalah lazim. Pelaku merupakan pihak yang memiliki kuasa di dalam suatu relasi atau hubungan.

Jika para ahli lain pembahasannya tentang kekuasaan negara, Paul-Michel Foucault, seorang filsuf, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa, serta kritikus sastra asal Prancis ini mendefinisikan kekuasaan secara berbeda.

Foucault menyebutkan kekuasaan tidak dimaknai secara negatif melainkan produktif dan reproduktif. Kekuasaan tidak terpusat tetapi menyebar dan mengalir, kemudian dinormalisasikan dalam praktik kedisiplinan.

Normalisasi yang dimaksud di sini bisa berupa disiplin. Kekuasaan juga bisa beroperasi dan dijalankan dalam masyarakat, melalui legitimasi dari pengetahuan. Pemikiran Foucault tentang relasi kuasa tidak diragukan berpengaruh luas terhadap ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi dan antropologi.

Melalui salah satu karyanya, The History of Sexuality Vol. I (1990), Foucault menunjukkan lima proposisi tentang apa itu kekuasaan.

Pertama, kekuasaan bukan hal yang diperoleh, diraih, digunakan, dibagikan, dapat digenggam, atau bahkan bisa punah. Menurutnya, kekuasaan dijalankan di berbagai tempat, dari hubungan yang terus bergerak.

Kedua, relasi kekuasaan bukanlah struktural hirarkis yang membayangkan adanya pihak yang menguasai dan dikuasai.

Ketiga, kekuasaan datang dari bawah, yang membayangkan bahwa tidak ada lagi perbedaan oposisi biner. Sebab, kekuasaan mencakup dalam keduanya.

Keempat, relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

Kelima, kekuasaan berkaitan erat dengan anti-kekuasaan. Keduanya bertolak belakang tetapi ada dalam waktu yang sama. Di mana ada kekuasaan, di situ juga ada anti-kekuasaan. Dalam konsep relasi kuasa Foucault, resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan. Setiap orang berada dalam kekuasaan, dan tidak ada jalan untuk keluar darinya. (ai)

Komentar

Komentar

Check Also

Menyoal Hari Kebangkitan Nasional

Oleh: Agus Ismanto bidik.co — Tujuh puluh dua tahun lalu, 20 Mei 1948, Presiden Pertama …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.