bidik.co — Isu reshuffle kabinet kian menguat. Di tengah derasnya kabar perombakan, PDIP meminta tambahan jatah kursi menteri ke Presiden Jokowi.
“Ketika ditanya tentang PDIP ingin minta tambah kursi kabinet berapa, saya katakan hal tersebut kita serahkan kepada hak prerogatif Presiden,” kata Wasekjen Ahmad Basarah saat ditanya soal reshuffle kabinet via BBM, Rabu (24/6/2015).
Meski demikian, Basarah memandang harusnya PDIP mendapat tambahan kursi menteri. Sebab, PDIP memiliki kursi terbanyak di DPR, yang artinya paling berkontribusi untuk mendukung pemerintah di parlemen.
“Kalau basis pertimbangannya adalah asas proporsionalitas, maka jika NasDem yang memperoleh 36 kursi di DPR bisa mendapatkan 4 orang menteri, maka kurang fair jika PDIP yang memperoleh 109 kursi atau 3 kali lipat dari jumlah kursi NasDem hanya mendapatkan 4 kursi menteri juga,” ujar Basarah.
Jika menghitung asas proporsionalitas, maka, kata Basarah, seharusnya PDIP mendapatkan jatah 12 kursi. Namun dia menyadari jumlah itu terlalu banyak.
“Ketika didesak rekan-rekan wartawan lagi, jadi PDIP ingin mengharapkan berapa kursi, lalu saya menjawab karena saya menyukai angka 5 karena sesuai dengan jumlah sila dalam Pancasila, maka saya mengusulkan agar Presiden mempertimbangkan penambahan jumlah kader PDIP yang akan membantu beliau di kabinet sebanyak 5 orang lagi,” ujarnya.
Basarah menilai permintaan itu wajar. Dia menyebut dua alasan, pertama PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi-JK punya kewajiban moral dan politik serta ideologis untuk memastikan kesuksesan pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan roda kekuasan pemerintah sesuai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan haluan politik Trisakti Bung Karno.
“Sebagai partai Pemerintah dan pemenang pemilu, PDIP punya hak dan tanggung jawab untuk ikut mewarnai pemerintahan Jokowi-JK secara lebih signifikan lagi,” pungkasnya.
Sebelumnya Presiden Jokowi meminta laporan kinerja para menteri sebagai bahan evaluasi. Namun Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK tak mau memastikan hal tersebut sebagai tanda dilakukan reshuffle kabinet.
JK juga memastikan hanya Presiden Jokowi yang mampu mengganti menteri dengan rapor merah.
“Belum ada, sabar-sabar. (Soal rapor) Ya gimana, yang memutuskan kan Presiden, bukan saya,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Senin (22/6/2015).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga enggan memberi pernyataan lebih terkait reshuffle atau perombakan kabinet. Ia hanya menjawab dengan kalimat candaan ketika disinggung suasana politik memanas akibat isu reshuffle ini.
“Ah enggak. AC di Istana bagus kok,” canda JK.
JK sebelumnya telah menyampaikan ada menteri yang kinerjanya kurang memuaskan. “Ada yang positif, ada yang kurang sedikit. Banyak sekali (hasil penilaiannya)” ucap JK, Jumat 19 Juni lalu.
Peduli Pemberantasan Korupsi
Sementara itu, Juru Bicara Wapres, Husain Abdullah menegaskan, JK orang yang menaruh perhatian besar pada pemberantasan korupsi.
Ia menuturkan di zaman JK memimpin di pemerintahan maupun di partai, tidak ada bawahannya yang korupsi maupun ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Ada 4 menteri ditangkap di era Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), 4 Menteri lagi di era SBY-Boediono. Nah, di era SBY-JK tidak ada. Kemudian saat Pak JK jadi Ketua Umum Golkar 2004-2009 tidak ada anggota DPR dari Golkar yang kena korupsi,” ucap Husain di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin 22 Juni 2015.
Husain menjelaskan, JK kerap kali mengedepankan aspek preventif dan memperingatkan bawahannya agar tidak melakukan korupsi.
“Pak JK concern (peduli) pemberantasan korupsi. Itu tak masuk akal kalau dibilang tidak pro-pemberantasan korupsi. Ini fakta. Aspek preventif kita kedepankan,” tutur dia.
Terkait dengan revisi Undang-Undang KPK, Husain meminta publik tidak melihat negatif pernyataan Wapres JK.
“Pak JK selalu ajak kita berpikir jernih, dalam konteks tata negara yang baik ke depan karena sudah selama 13 tahun Undang-Undang itu (belum direvisi),” Husain menambahkan. (*)