bidik.co — Bila berbicara tentang Pelabuhan Ratu di Sukabumi mau tak mau akan mengaitkan dengan kisah dongeng Nyi Roro Kidul. Kisah ini melegenda di kalangan masyarakat. Bahkan ada salah satu hotel di Sukabumi yang khusus menyediakan kamar untuk sosok Nyi Roro Kidul.
Lepas dari soal Nyi Roro Kidul, Pelabuhan Ratu dikenal dengan pantainya yang indah. Tak hanya itu saja, kini ada temuan baru yang akan memancing banyak sejarawan atau juga wisatawan berkunjung. Tak lain penemuan situs kuno yang diduga peninggalan zaman prasejarah.
“Masyarakat Arkeologi Indonesia (MARI) terus berusaha mengungkap peradaban Indonesia masa silam. Setelah melakukan lacak artefak di kawasan Prasejarah Gunung Padang Cianjur Jawa Barat bulan April lalu, penelitian dilanjutkan menelusuri selatan Situs Gunung Padang sampai ke Pantai Selatan,” terang Ketua MARI Ali Akbar, Kamis (24/6/2015).
Ali yang juga pengajar di jurusan Arkeologi UI ini menyampaikan, berdasarkan penelitian MARI ditemukan sejumlah situs di selatan Gunung Padang. Penelitian terus dilakukan menuju laut karena situs sebesar Gunung Padang yang dipercaya sebagai sentral pasti mempunyai akses untuk memudahkan mobilitas masyarakat dari berbagai lokasi.
“Penelitian terbaru di bulan Juni 2015 ini ternyata menemukan situs di Pelabuhan Ratu di Sukabumi Jawa Barat. Penemuan diawali dengan upaya mencari batu yang mirip dengan batu penyusun Situs Gunung Padang yakni Kekar Tiang (Colunnar Joint). Berdasarkan survei arkeologi di permukaan tanah ternyata ditemukan columnar joint dalam formasi alami di tepi pantai,” terang Ali.
Survei terus dilakukan dan hanya berjarak sekitar 50 meter ditemukan lagi columnar joint yang panjangnya sekitar 20 meter dalam posisi vertikal.
“Survei terus dilajukan di seberang jalan raya Cisolok – Pelabuhan Ratu. Ternyata di balik pepohonan ditemukan tangga yang terbuat dari potongan-potongan columnar joint. Tangga tersebut menuju ke atas dan di atas bukit ditemukan struktur punden berundak,” urai dia.
Punden berundak (stepped pyramid) merupakan bangunan yang disusun bertingkat semakin ke atas semakin mengerucut atau semakin kecil. Situs Pelabuhan Ratu ini sedikitnya bertingkat tiga.
“Penemuan ini sangat menarik karena Situs Gunung Padang juga disusun dari columnar joint dan merupakan bangunan punden berundak. Apakah ada kaitan antara Situs Gunung Padang dengan Situs Pelabuhan Ratu akan segera diteliti lebih lanjut,” tutup dia.
Sementara itu kisah perburuan batu tua terjadi saat, di balik itu telah menguak tabir lama. Ibu Manah, seorang kuncen atau juru kunci pekuburan yang usianya sudah cukup tua, 60 tahun mengatakan, ”Konon tiap malam terdengar suara gelegar.”
Rupanya suara gelegar tadi mengilhami penamaan sebuah tempat. Namanya Gentar Bumi. ”Menurut cerita rakyat di sini, Gentar Bumi ini ada hubungannya dengan perkembangan Islam di Indonesia. Tempat ini sangat dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para wali (maksudnya Wali Sanga),” papar ibu tua itu lagi.
Sementara banyak orang yang lebih kenal Gentar Bumi dengan sebutan Pasarean atau Kuburan. Sebab di desa itu kita akan menemukan peninggalan sejarah. Yang sebenarnya bernama Punden Berundak Pangguyungan.
Temparnya nyaris lembab. Hijau dan kelihatan sekali tempat itu jarang kena sinar matahari. Pohon-pohonan tinggi nan besar menutup rapat bak pagar besi yang kuat. Sulur-sulur akar gantung yang melekat dari pepohonan itu makin menambah suasana magis. Ngeri dan sering membuat bulu kuduk berdiri.
”Maka pada malam Kliwon banyak pengunjung kesana untuk meminta sesuatu, seperti mingta jodoh, minta rejeki, minta sembuh dari penyakit dan sebanagainya,” Sekali lagi Ibu Manah bercerita.
Pangguyangan tak ubahnya dengan desa lain. Hanya sebuah desa kecil. Pangguyangan tergolong biasa-biasa saja. Paling-paling dihiasi dengan sungai, pesawahan, dan gunung nu jauh di sana.
Letaknya di kelurahan Cikakak, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Sekitar 16 kilometer di sebelah utara Pelabuhan Ratu. Pemandanganya memang masih menyejukan mata. Segala sesuatunya masih serba alami. Tanahnya subur. Tanaman padi dan rupa palawija lainnya tumbuh segar.
Bisa diduga mata pencaharian penduduk Pangguyangan adalah dari bertani, selain usaha sampinganya ternak dan mengolah hasil hutan. Untuk menuju kesana, seperti sekarang ini tidaklah terlampau susah. Karena telah ada jalan desa yang menghubungkan tempat tersebut dengan kota-kota kecil lainnya.
Kendaraan roda dua dan roda empat dengan mudah bisa mencapai lokasi ini dari Pelabuhan Ratu. Maka tidak heran banyak dikunjungi orang, terutama saban malam Kliwon.
Kompleks bangunan kuno itu sendiri terletak di sebelah timur jalan yang menghubungkan Pelabuhan Ratu – Pangguyangan. Kira-kira 95 meter dari jalan desa.
Peninggalan ini berasal dari tradisi Megalitik (mega berarti besar, litik berarti batu). Sesuai dengan sebutannya Punden Berundak yang pertama bakal kita temui batu-batuan yang tersusun berundak-undak.
Semakin mengamati batu demi batu, makin terlihat jelas tiap batuan mempunyai ukuran yang berbeda. Ada yang terletak dalam posisi rebah, lainnya berdiri tegal, istilahnya menhir.
Tepat di bagian paling atas susunan undakan itu terdapat sekelompok batu yang tersusun rapi. Berentuk persegi panjang. Sepintas bentuknya mirip dengan kuburan. Diatas bebatuan itu ada cungkup atau banguan dengan atap, yang gunanya untuk melindungi peziarah yang melakukan doa-doa di batu tersebut. Menurut penduduk setempat, tempat ini merupakan areal pemakaman. Di dalamnya konon, jenazah Mbah Haji Gentar Bumi bersemayam.
”Saat liburan sekolah, tempat ini banyak dikinjungi para pelajar, pramuka, maupun wisatawan dalam dan luar negeri,” terang Pak Jamal, warga desa Pangguyangan.
Tempat ini memang tak lepas dari berbagai penelitian. Tentu saja yang berkenaan dengan kepurbakalaan. Menurut seorang arkelog Belanda, van Heine Gelder, masuknya kebudayaan Megalitik di semenanjung Asia Tenggara pada akhira zaman Neolitik hampir bersamaan dengan kebudayaan kapak persegi (sekitar 2500 hingga 1500 SM). Masuk ke pulaunya sendiri baru di abad 3 sampai 4 M.
“Kebudayaan Megalitik adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan batu yang besar,” sahut Ucok salah seorang anggota rombongan menerangkan.
Sementara menurut beberapa pakar arkeologi, Megalitik di Indonesia mulai berkembang pada akhir zaman Neolitik. Namun belakangan baru benar-benar berkembang pada zaman logam. Itu bisa dibuktikan dengan banyaknya temuan sisa-sisa “keemasan” zaman logam di situs Megalitik. Misalnya saja, manik-manik dan alat-alat dari perunggu.
Pada tahun 1976, tepatnya di pertengahan bulan April, serombongan tim dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional yang dipimpin oleh D.D Bintarti pernah melakukan serangkaian penelitian kembali di daerah Cisolok. Hasilnya mereka menemukan lebih banyak lagi peninggalan disekitar Tugu Gede, Ciarca dan Salak Datar.
Tak lama kemudian tim kedua menyusul. Peneliti yang dipimpin Haris Sukendar ini berhasil mencatat benda-benda temuan. Selain itu, mereka juga mengadakan pendokumentasian, penggambaran benda, pemetaan situs, pemotretan benda dan lingkungan sekitar.
“Banguan-bangunan batu besar ini diduga merupakan sarana pemujaan bagi para dewa saat itu. Kira-kira seperti masjid dan gereja sekarang. Umumnya bangunan didirikan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Tempat lebih tinggi mendekatkan dan memudahkan mereka berkomunikasi dengan dewanya barangkali,” ujar Umar Alatas, mahasiswa Arkelogi menjelaskan.
Tugu Gede sendiri letaknya sekitar 6 kilometer sebelah barat daya Pangguyangan. Masih terletak di kelurahan dan kecamatan yang sama dengan Pangguyangan.
Menuju Tugu Gede perlu ekstra tenaga. Letaknya di lereng Gunung Batu Lawang. Jalannya tak ada yang lain selain mendaki bukit. Sampai disana kita bisa beristirahat dibawah pohon rindang. Amat rindangnya sampai makan siang sederhana pun jadi terasa nikmat.
Sejenak melintasi pedusunan ini, kita akan menemukan sebuah batu tinggi besar. Segede gajahlah kira-kira. Berdiri tegak seolah-olah ditancapkan ke bumi. Agaknya batu ini berfungsi sebagai menhir . Sementara disekitarnya banyak ditemukan menhir-menhir kecil dan bebatuan datar.
“Batu datar ini tidak diketahui fungsi pastinya. Tapi cenderung merupakan uborampe (semacalm alat perlengkapan) untuk keperluan pemujaan arwah nenek moyang,” ujar Umar lagi, mengutip sebuah laporan penelitian. Ada kemungkinan bahwa batu-batu yang tersebar di sekitar menhir digunakan sebagai tempat berkumpul atau semedi untuk pengagungan arwah nenek moyang.
Sementara di sebelah tenggara, sekitar 2-3 kilometer dari kompleks Tugu Gede ditemukan Situs Ciarca. Tingginya 500 meter dari permukaan laut. Lokasinya cukup melelahkan untuk dicapai. Kita mesti menuruni bukit terlebih dahulu, setelah itu menyeberang sungai Cimaja sembari meniti jembatan bambu yang amat licin. Setelah itu menanjak terus keatas.
Patung di Ciarca bentuknya lain daripada yang lain. Ada dua buah arca dari batu, yang satu besar dan lannya kecil. Saking tua dan lembabnya Ciarca, kedua arca tersebut sampai dikerubuti lumut.
Menurut para arkeolog, arca ini bergaya Polinesia, karena hampir keseluruhan mirip banget dengan yang ada di Polinesia. Akhirnya sepata disebutkan arca-arca ini, Arca Polinesia.
Tidak jauh dari tempat itu ada jambangan batu yang berbentuk mirip bath tub zaman sekarang. Bahannya dari batu padas yang berupa kerikil (gravel). Ditempat lainnya ditemui pula menhir-menhir dalam berbagai ukuran.
Tempat terakhir yang bisa kita kunjungi adalah Salal Datar. Situs Salak datar terletak di tengah sawah, persis dipinggir jalan setapak Salak Datar – Cimaja. Tepat dikaki pegunungan tinggi Salak Datar.
Sembari menikmati suasana desa yang lenggang dan padian yang menguning (pas mau panen), kita bisa menyaksikan sekelompok menhir dalam kawasan berpagar. Menurut para ahli, tempat ini merupakan lokasi pemujaan roh nenek moyang.
Yang sangat menarik dan mengingatkan kita pada sebuah permainan anak-anak adalah batu dakon. Bentuknya gede lebar dengan lobang-lobang segede jeruk berjumlah tujuh buah.
“Secara tepat sulit mengetahui fungsi batu dakon ini,” ujar Joanne, mahasiswa Arkeologi UI yang lain. “tapi pada living megalitik culture, kebudayaan megalitik yang masih berlanjut sampai sekarang yang ditemukan Due Awe dan Budi Santoso Azis, masih ada hubungannya dengan batu dakon. Yang hingga kini masih sering dimainkan, tapi kadang juga dipakai buat perhitungan masa tanam atau masa tuai yang baik,”. Pendeknya bisa buat menghitung kesuburan. (*)