bidik.co — Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu Kepala Daerah menuai penolakan dari berbagai kalangan, termasuk kepala daerah. RUU yang sudah 2 tahun dikaji itu akan diputus pada 25 September dalam rapat paripurna DPR. Kemungkinan DPR akan menyetop pembahasan. Taktik Koalisi Merah Putih Menangkan Voting ?
“Ada tetap dua kemungkinan, bisa saja karena ini tak bisa dihindarkan sudah tarik menarik kepentingan, bisa UU ini tidak jadi. Bisa saja mayoritas menghendaki tidak ingin dilanjutkan, atau dilanjutkan dengan substansi seperti apa?” kata ketua komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (19/9/2014)
Agun menerangkan, pembahasan RUU itu untuk seluruh materi sudah selesai , tim perumus juga sudah melakukan sinkronisasi tinggal laporan dalam rapat Panja atau pengambilan keputusan.
Nah, pengambilan keputusan itu sebelum di tingkat II paripurna DPR, akan melalui rapat tingkat I di Komisi II yaitu mendengarkan pandangan akhir seluruh fraksi. Pada tingkat ini, bisa saja dua kemungkinan di atas terjadi yaitu dilanjutkan atau distop.
“Rapat kerja tingkat 1 ini diagendakan tanggal 23 September,” ujarnya.
Jika pada tingkat I itu seluruh fraksi menolak untuk diputuskan, maka berhenti sudah RUU Pilkada dan dilanjutkan mungkin dalam DPR periode berikutnya. Namun jika disetujui, maka akan diputuskan di tingkat II yaitu putusan sidang paripurna DPR tanggal 25 September.
“Saya sebagai pimpinan (komisi II) akan menjalankan sebagaimana ketentuan,” ucap politisi Golkar itu.
Lalu bagaimana posisi terakhir sikap fraksi terhadap RUU Pilkada terutama mekanisme pemilihan?
“Dalam dokumen lebih kuat DPRD,” jawab Agun.
Apakah benar demikian? Apakah hal ini merupakan taktik koalisi merah putih untuk memenangkan voting setelah Partai Demokrat merubah sikap?
Sebelumnya, usulan pilkada lewat DPRD mendominasi pembahasan RUU Pilkada di DPR. Partai Golkar (106 kursi), PPP (38 kursi), PAN (46 kursi), PKS (57 kursi), Partai Gerindra (26 kursi) yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendorong pilkada dilaksanakan melalui DPRD.
Demokrat (148 kursi) sebelumnya juga berpendapat sama. Jika tidak terjadi musyawarah mufakat, pengambilan keputusan bisa dilakukan secara voting. Total suara pendukung pilkada lewat DPRD, sebelum ada pernyataan dari SBY, mencapai 421 kursi.
Kini, peta politik berbalik. Sebelumnya, hanya tiga parpol mendukung mekanisme pilkada tetap secara langsung, yakni PDI Perjuangan (94 kursi), PKB (28 kursi), dan Partai Hanura (17 kursi). Jika ditambah Demokrat, maka suara pendukung pilkada langsung di DPR mencapai 287 kursi. Sementara itu, pendukung pilkada lewat DPRD sebanyak 273 kursi.
Untuk DPR periode ke depan, Koalisi Jokowi hanya memperoleh 207 dari 560 kursi di DPR. Ada empat partai pendukung, yakni PDI Perjuangan dengan 109 kursi, Partai NasDem 35 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi, dan Partai Hanura 16 kursi.
Adapun koalisi pendukung Prabowo mendulang 353 kursi DPR. Partai Gerindra yang menjadi pengusung memperoleh 73 kursi, ditambah lima parpol lainnya, yakni Partai Golkar 91 kursi, Partai Amanat Nasional 49 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, dan Partai Demokrat 61 kursi.
Jika Partai Demokrata berbalik arah, Koalisi Jokowi memperoleh 207 kursi mendapat tambahan dari Partai Demokrat 61 kursi menjadi 268 kursi di DPR. Sebaliknya koalisi pendukung Prabowo mendulang 353 kursi DPR akan dikurangi Partai Demokrat 61 kursi sehingga sisa 292 dari 560 kursi di DPR.
Perebutan kekuatan di legislatif terjadi karena sesuai dengan tata tertib Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pimpinan dan alat kelengkapan DPR dan DPRD dipilih melalui sistem paket. Jadi, nama lima calon diusung oleh fraksi yang berbeda dan dipilih melalui voting. (ai)