bidik.co — Pengamat politik dari Universitas Nasional, Alfan Alfian, menilai, kebijakan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla terkait formasi kabinetnya sudah mengingkari janji yang sebelumnya disampaikan saat kampanye. Hal itu, kata dia, bisa menjadi blunder politik.
“Ini belum-belum saja sudah memperlebar jarak janji dengan kebijakan soal kabinet,” ujar Alfan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2014).
Pada saat kampanye, kata Alfan, Jokowi mengatakan akan melakukan perampingan kabinet. Akan tetapi, seperti diumumkan pada Senin (15/9/2014) lalu, Jokowi menyebut akan ada 34 kementerian di kabinetnya.
Jumlah kementerian ini sama dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Meski Jokowi melakukan perombakan dari sisi nomenklatur dan pelembagaan kementerian, menurut Alfan, yang terjadi tetap ingkar janji politik.
“Pemimpin besar cenderung membuat suatu labirin bagi dirinya sendiri. Ujung-ujungnya adalah suatu blunder politik,” kata Alfan.
Sementara itu, Direktur Indo Strategi Andar Nubowo mengatakan, Jokowi-JK sebaiknya tidak mengorbankan kepercayaan publik yang diberikan dalam pemilihan presiden yang lalu.
“Selama mereka bekerja untuk rakyat, saya yakin rakyat akan tetap memberi dukungan,” kata Andar.
Kepala Pusat Penelitian The Jokowi Institute pada Jokowi Watch Muhammad Sadli Andi pun menilai, sikap presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang akan memakai 34 menteri pada pemerintahannya mendatang merupakan sikap yang merusak terhadap janjinya saat kampanye.
“Sebanyak 34 kementerian yang diumumkan Jokowi kemarin menunjukkan sikap tidak konsisten. Saat kampanye Jokowi secara terang-terangan menyebut akan merampingkan kabinet dari yang ada saat SBY,” kata Andi, Selasa, (16/9/2014).
Andi dalam penjelasannya menilai, pembentukan dan penyusunan kabinet merupakan hak preorogratif presiden. Namun, seharusnya Jokowi tidak melupakan janji kampanye yang akan merampingkan kabinet di pemerintahannya.
“Walau hal itu merupakan hak prerogatifnya, namun Jokowi harus semakin berhati-hati. Sebab belajar dari hal itu bukan tidak mungkin beberapa janji kampanye yang lain juga akan ‘disimpangkan’.
Apalagi, publik juga memiliki penilaian ‘prerogatif’ individual dan kolektif. Ini adalah ‘catatan hitam’ perdana bagi Jokowi sejak kemenangannya dalam pilpres 2014,” ujarnya.
Ketidakkonsistenan Jokowi ini lanjut Andi, sudah mulai ditunjukkan kepada publik. Kedepan, hal itu bisa jadi mengakibatkan pemahaman publik yang berbeda kepada Jokowi.
“Yang tadinya pro terhadap Jokowi justru akan berpaling. Karena, mereka menilai Jokowi mulai tidak konsisten,” tambahnya.
Selanjutnya Andi menegaskan kembali, jika Jokowi terus “mengingkari” janji saat kampanyenya keadaan ini sangat berbahaya.
“Jika seperti ini diulang lagi, bukan tidak mungkin suara yang awalnya pro terhadap Jokowi justru akan meninggalkannya.
Memang, hal itu sekarang tidak signifikan tapi bisa menjadi ‘penyegar’ bagi kelompok koalisi permanen merah putih,” ujar Andi.
The Jokowi Insitute menyarankan agar Jokowi memperbaiki postur kabinetnya sebelum pelantikan presiden pada 20 Oktober mendatang.
“Masih ada kesempatan sampai pada pelantikan presiden. Sebaiknya inkonsistensi itu bisa segera ditutupi oleh Jokowi, selagi rakyat masih ‘ragu-ragu’ menilai ke-inkonsistensiannya,” saran Andi.
“Mulai sekarang, sebaiknya Jokowi menjaga pupuk kepercayaan publik ketimbang hanya sekedar menyenangkan realitas politik semata,” katanya lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, dari formasi 34 kementerian, Jokowi-JK mengalokasikan 16 pos kementerian akan diisi dari kalangan partai politik, sementara 18 pos lainnya akan diisi dari kalangan profesional. Selain itu, Jokowi menyatakan akan menghapus posisi wakil menteri, kecuali di Kementerian Luar Negeri. (ai)