bidik.co — Pemilik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, tidak ada pemilihan presiden yang 100 persen sesuai dengan norma konstitusional, termasuk pilpres di Indonesia. Menurutnya, konstitusional pilpres ukurannya bukan secara nominal.
“Karena bicara “konstitusionalitas” (seberapa) maka ukurannya tidak memadai kalau secara nominal: konstitusional atau tidak konstitusional,” tulis Mujani dalam akun Twitter miliknya, Senin (18/8/2014).
Dia pun menjelaskan, dalam nalar saintifik, konstitusional atau tidaknya sebuah pilpres bisa dibuat dalam skala. “Seberapa jurdil pilpres kita? Kalau ukuran dibuat dalam skala 1-10 misalnya, pada skala berapa anda mau menilai ke-jurdil-an pilpres kita?” ujarnya.
Menurutnya, jika skor pilpres lima atau kurang, maka pilpres tersebut tidak jurdil atau tidak konstitusional. Orang yang dapat menilai adalah hakim di Mahkamah Konstitusi.
Mujani menjelaskan, salah satu komponen penilai konstitusional atau tidaknya sebuah pilpres adalah formulir C1. Jika mayoritas C1 terbukti cacat, maka sebuah pilpres tidak konstitusional.
“Perlu dipertajam, kalau pun tidak mayoritas yang cacat, maka dari sekian C1 yang cacat ketika dikoreksi, apakah potensial dapat merubah hasil?”
Menurutnya, jika kerangka analisis legal tidak seperti itu, maka semua pihak akan terjebak pada simplifikasi analisis. Simplifikasi tersebut akan melumpuhkan pilpres dan demokrasi.
Dia pun mempertanyakan, jika ada beberapa C1 yang cacat, apakah hal tersebut membuktikan pilpres cacat secara keseluruhan. Kalau tidak boleh ada satu pun C1 yang cacat, dan kecacatan seberapa pun membawa pada penilaian bahwa pilpres secara keseluruhan cacat, maka pilpres Indonesia bisa dipastikan tidak konstitusional.
“Dan bahkan seluruh pilpres di dunia tidak konstitusional. Tidak ada pilpres yang 100 persen sesuai dengan norma konstitusional” ujarnya.
Sebelumnya Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yakni pemilih yang menggunakan KTP tidak sesuai konstitusi.
Menurut Margarito sebagai saksi ahli Prabowo-Hatta dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden, DPKTb tidak diatur dalam undang-undang.
“Pemilu itu dilaksanakan dalam negara hukum dan demokratis. Maka tidak ada pelanggaran pemilu yang tidak didasarkan pada hukum. Dalam konteks itu saya ingin menyatakan bahwa khusus mengenai apa DPKTb tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang,” ujar Margarito saat menyampaikan pendapatnya di ruang sidang utama MK, Jakarta, Jumat (15/8/2014).
Dengan adanya pelanggaran tersebut, lanjut Margarito, Pemilu yang telah dilaksanakan menyebabkan hilangnya keabsahan konstitusional Pemilu itu sendiri. Sebab kata dia, Pemilu adalah peristiwa hukum konstitusi.
“Pelanggaran terhadap prosedur berakibat tertangguhkan bahkan menyebabkan hilangnya keabsahan konstitusional Pemilu presiden itu. Ketidakbasahaan Pilpres tidak didasarkan sifat pelanggaran atas prosedurnya atau jangkauan pelanggaran itu dalam hal ini TSM (terstruktur, sistematis, dan masif),” tukas Margarito. (ai)