Agung Hidayat (Pemerhati Etika Pendidikan)
Akademisi tersinggung oleh sebuah kritik, bukanlah fenomena baru.
Oleh sebab itu, kalau sekarang ini Sri Indarti, Rektor Universitas Riau, diberitakan telah menunjukkan sikap antikritik atas kritikan mahasiswanya Khariq Anhar, itu bukan hal yang mengagetkan.
Sayangnya, tidak ada yang dapat menjamin kalau seseorang sudah mendapat predikat sebagai akademisi, maka akan terbebas dari mentalitas ini.
Perkara Mental
Kita sudah biasa menengok fenomena antikritik. Bukan cuma di lapangan pendidikan, tapi juga di berbagai tempat.
Sudah bosan pula kita membaca dan mendengar “warning” dari orang-orang yang mengerti keadaan ini, bahwa sikap seperti itu racun bagi kesehatan kepribadian bangsa.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji dalam dialog di Metro TV (8/5/2024) menyesalkan langkah yang diambil oleh pihak Sri Indarti yang membawa kritik Khariq Anhar ke jalur hukum. Padahal, menurutnya kritik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.
Kemudian, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyebut Rektor Universitas Riau (Unri) Sri Indarti melanggar hak asasi manusia (HAM), karena melaporkan mahasiswanya Khariq Anhar ke polisi usai memprotes biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, (CNNIndonesia.com).
Benny Susetyo dalam bukunya Politik Pendidikan Penguasa mengutip pernyataan Romo Mangun, menurutnya, sistem pendidikan di negeri ini lebih berpola pada “pendidikan model anjing”.
Pendidikan model itu bersifat hafalan, kepatuhan, sistem komando, subordinasi, dan sistem militeristik. Siswa bukan dijadikan subjek yang mandiri melainkan dijadikan objek kepatuhan sang guru. Siswa yang patuh akan memperoleh hadiah. Sedang siswa yang kritis yang mempertanyakan ketidakwajaran harus dibungkam dan dihukum, (Benny Susetyo, 2015: 122).
Walau sudah ada “warning” mengenai kebebasan berpendapat, tapi kita masih saja tidak pernah mau mengambil pelajaran. Sikap antikritik sebagai ciri dari moralitas feodal terus-menerus kita tunjukkan.
Padahal, jelas, dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Apabila kemudian pendapat yang dikemukakan itu mengandung ketidaktepatan, seharusnya di situlah waktunya bagi para pihak melangsungkan dialog untuk sampai pada pemahaman yang utuh dan selaras.
Selain sikap antikritik Sri Indarti, sebenarnya ada hal yang patut untuk diperhatikan lebih jauh terkait substansi kritikan Khariq Anhar. Tentang bagaimana universitas mengecilkan harapan orang miskin untuk dapat kuliah.
Perkara Uang
Amanat mencerdaskan kehidupan bangsa tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Jika target pencerdasan itu anak bangsa, maka jalan menuju pencerdasan itu harus pula dapat dijangkau oleh semua kalangan, termasuk anak kaum miskin.
Kaum miskin harus dicerdaskan, bukan hanya untuk keadilan dan kepentingan martabat pribadinya, tapi juga untuk mencapai martabat bangsa secara paripurna.
Tapi, gagasan ideal formal tersebut tampaknya berbenturan dengan kenyataan. Lihatlah dalam paragraf selanjutnya bagaimana hal itu terjadi.
Khariq Anhar dalam video yang diunggah di media sosial oleh akun Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) pada Rabu (6/3/2024), mengkritik mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di Universitas Riau (UNRI).
Nyatanya, keluhan UKT mahal bukan cuma terjadi di UNRI, tapi juga di sejumlah universitas lain. Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menaikkan UKT 30 sampai 50 persen, (Tempo.co).
Tidak hanya itu, pada Rabu (8/5/2024) mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) Medan memprotes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) 2024 yang disebut-sebut lebih dari 100 persen, (CNNIndonesia.com).
Tampaknya keresahan atas biaya pendidikan sudah jamak dirasakan. Bukan lagi persoalan satu atau dua orang saja.
Kalau biaya pendidikan mahal, buat siapa sebenarnya pendidikan itu? Kalau pendidikan itu ditujukan untuk semua orang, tidakkah orang miskin akan kesulitan mencapainya.
Seperti fenomena antikritik pada “kaum terdidik”, kapitalisasi pendidikan pun bukan perkara yang baru terjadi.
Pemikiran tentang pendidikan yang diperlakukan seperti “barang dagangan” telah menjadi perhatian para pemikir terdahulu seperti Ivan Ilich, Paulo Freire, Margareth Mead, Nicholas Anbercromble, Immanuel Wallerstein, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, dan sebagainya, (Susetyo, 2015: 120-121).
Oleh karena itu, orientasi pendidikan semakin relevan untuk dipertanyakan. Sebab, pendidikan model “barang dagangan” cuma akan membentuk manusia-manusia industri bermental elitis.
Sesuai dengan pandangan almarhum Romo Mangun, jika pendidikan tidak menyentuh masyarakat miskin, maka pendidikan tidak akan membebaskan kaum miskin untuk menemukan jati dirinya. Sebaliknya, pendidikan hanya akan menciptakan pola pikir yang mengikuti mentalitas priyayi baru, (Susetyo, 2013: 120).
Ada yang mengatakan, biaya kuliah yang memberatkan itu disebabkan adanya serangkaian aturan yang mendorongnya ke arah sana. Pendek kata, universitas memiliki dasar yang sah untuk melakukan itu. Lalu bagaimana?
Perkara Hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) menyebutkan pendanaan PTNBH berasal dari dua sumber: APBN dan selain APBN.
Sumber pendanaan selain dari APBN yang dimaksud tercantum pada Pasal 11 ayat (1): Masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi, usaha PTNBH, kerja sama tridharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTNBH, APBD, dan/atau pinjaman.
Melihat aturan di atas, sebenarnya ada pelbagai opsi dalam pendanaan PTNBH. Persoalannya sejauh mana PTNBH mau atau mampu mengejar sumber pendanaan selain dari biaya pendidikan.
Sebab, dalam PP di atas pada Pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa tarif biaya pendidikan ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiwa, orang tua, dan pihak yang membiayai mahasiswa.
Protes yang dilakukan oleh mahasiswa UNRI dan USU, harus dilihat oleh pihak Perguruan Tinggi sebagai suara dari kenyataan. Bahwa biaya pendidikan yang ditetapkan memberatkan mereka (orang tuanya).
Tapi, sulit mengharapkan agar PTNBH membuat aturan UKT dan IPI tanpa memberatkan mahasiswa (dan orang tuanya). Sebab, apa yang mereka lakukan didukung oleh peraturan yang sah.
Kita mungkin dapat melihat ini dengan menggunakan pendekatan lex specialis legi derogat generali —hukum khusus mengesampingkan hukum umum.
Melalui prinsip di atas, pendanaan PTNBH di luar APBN harus didetailkan dalam Peraturan Menteri (Permen) dengan tidak hanya mempertimbangkan, tapi mewajibkan Perguruan Tinggi Negeri menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau untuk semua kalangan.
Dengan begitu, mungkin Romo Mangun akan tersenyum bangga di “alam sana”, lalu berkata, “Oh, bangsaku, kini telah ‘menyala’!” (*)