bidik.co — Putri mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid menilai, putusan DPR yang mengesahkan RUU Pilkada dipilih oleh DPRD akan memunculkan kekecewaan dari berbagai pihak. Karena akan terjadi penumpukan kekuasaan di tingkat elite setelah DPRD diberikan hak memilih kepala daerah.
“Ke depannya, check and balances masyarakat itu sudah tak ada lagi. Lewat apa masyarakat bisa mengontrol kepala daerah? Kekuatan moral dan politisnya sudah tak ada. Berat sekali untuk pembangunan demokrasi ke depan,” kata Yenny, Sabtu (27/9/2014).
Putri dari almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu meyakini bakal banyak gerakan rakyat yang melawan keputusan DPR RI yang digolkan Koalisi Merah Putih itu lewat Mahkamah Konstitusi.
“Di sosial media itu orang-orang keras sekali menolak Pilkada lewat DPRD dan isu ini bisa jadi katalis gerakan baru. Saya rasa banyak orang segera inginkan gugatan karena Pilkada lewat DPRD itu berpotensi menyurutkan langkah demokratis kita,” terangnya.
Direktur Eksekutif The Wahid Institute ini yakin, keputusan Pilkada lewat DPRD merupakan bagian imbas dari pertarungan politik di Pilpres 2014 yang dimenangkan kubu Jokowi-JK.
Dikotomi politik yang seharusnya sudah selesai dan beralih fokus pada pembangunan bangsa malah tidak terjadi.
“Tadinya kita pikir dengan Jokowi-JK terpilih maka selesai sudah dikotomi-dikotomi ini. Tapi kalau ada situasi ini, maka dikotomi akan berlangsung terus,” ujarnya.
Setelah Jokowi-JK memenangkan Pilpres 2014 mengalahkan Prabowo-Hatta, ternyata pertarungan belum selesai. Perseteruan terus berlanjut. Berbagai pertarungan politik, kembali berhadapan kedua koalisi.
Jokowi-JK didukung PDIP, Partai NasDem, Partai Hanura, PKB, dan PKPI.
Sementara Prabowo-Hatta diusung Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, PBB, dan Demokrat. Hitungan di atas kertas, Prabowo-Hatta unggul.
Koalisi Indonesia Hebat boleh memenangkan Jokowi-JK mengalami kekalahan telak. Bahkan, skor sementara 3-1, dan itu bisa bertambah. Apa saja kekalahan PDIP dan koalisinya?
Ketua DPR tidak otomatis PDIP
Paripurna DPR pada 16 September 2014, memutuskan Tata Tertib (Tatib) DPR disahkan. Namun Tatib ini berbeda dengan sebelumnya.
Tatib ini adalah peraturan turunan, lebih spesifik, dari UU MD3 (tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD). Tatib ini, menjadi pertarungan bagi Koalisi Merah Putih (KMP) dengan koalisi Indonesia Hebat.
Kalau Tatib DPR sebelumnya, Ketua DPR adalah otomatis pemenang Pemilu Legislatif (Pileg), maka Tatib 2014 ini diubah. Pemenang pileg tidak otomatis menjadi Ketua DPR.
Inilah yang membuat keberatan PDIP dan partai koalisinya di Indonesia Hebat. Perdebatan panjang terjadi. Hingga akhirnya, Tatib DPR yang baru disahkan. Ketua DPR tidak otomatis pemenang. Sehingga, Ketua DPR 2014-2019 tidak otomatis menjadi milik PDIP, sebagai pemenang Pileg 2014.
Dalam Tatib itu dijelaskan, pemilihan pimpinan DPR dilakukan melalui sistem paket. Satu paket ada lima nama calon pimpinan DPR yang diusulkan oleh lima fraksi.
Alat kelengkapan DPR juga demikian, ada perubahan. Pimpinan alat kelengkapan bertugas selama satu periode.
Komisioner BPK dari Koalisi Merah Putih
Dalam seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) oleh Komisi XI DPR, nama-nama yang lolos bisa dibilang lebih dekat dengan Koalisi Merah Putih (KMP).
Ada lima nama sebenarnya. Hanya satu orang yakni Eddy Mulyadi Soepardi, dibatalkan lantaran masih menjabat Deputi BPKP.
Sementara, empat lagi yang disahkan pada Paripurna DPR Selaasa 23 September 2014, adalah Moermahadi Soerja Djanegara, Harry Azhar Azis, Rizal Djalil, dan Achsanul Qosasi. Mereka tinggal dilantik oleh Mahkamah Agung.
Dari empat nama ini, tiga orang berasal dari KMP. Harry Azhar dari Fraksi Partai Golkar, sebelumnya pernah menjadi Ketua Komisi XI hingga anggota sampai sekarang. Dia juga adalah Tim Ekonomi Prabowo-Hatta di Pilpres 2014.
Rizal Djalil adalah anggota BPK periode sebelumnya. Dia pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi PAN. Dia dikenal dekat dengan PAN, walau juga diketahui sebagai orang SOKSI, salah satu organisasi sayap Golkar.
Achsanul Qosasi, adalah politisi Partai Demokrat. Anggota Komisi XI DPR 2009-2014. Achsanul juga diketahui sebagai anggota HKTI versi Prabowo Subianto.
“Termasuk di HKTI kepada Pak Prabowo untuk pamit mengundurkan diri. Karena organisasi-organisasi seperti ini membuat kita tidak independen,” ujar Achsanul.
UU Pilkada lewat DPRD disahkan
Paripurna DPR pada Jumat 26 September 2014 dini hari, memutuskan perubahan signifikan. Pilkada dikembalikan ke DPRD.
Tentu, ini adalah pertarungan lanjutan antara parpol Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat.
Hasil voting, setelah tidak ketemu untuk musyawarah atau lobi, KMP menang.
Hanya 11 orang dari Golkar yang membelot. Sementara 6 dari Demokrat milih pilkada langsung. Tetapi, Fraksi Demokrat memilih aksi walk out.
1. Hasil voting yang setuju pilkada langsung:
Fraksi Golkar: 11 orang
Fraksi PDIP: 88 orang
Fraksi PKB: 20 orang
Fraksi Hanura: 10 orang
Fraksi Demokrat: 6 orang
Jumlah anggota yang memilih pilkada langsung: 135 orang
2. Hasil voting yang setuju lewat DPRD:
Fraksi Golkar: 73 orang
Fraksi PKS: 55 orang
Fraksi PAN: 44 orang
Fraksi PPP: 32 orang
Fraksi Partai Gerindra: 22 orang
Jumlah anggota yang memilih pilkada lewat DPRD: 226 orang. (ai)