bidik.co — Etnis Tionghoa menjadi satu warna tersendiri bagi Indonesia. Asimilasi tradisi dan budaya yang mereka bawa dari Tiongkok dengan budaya di Indonesia, membuatnya menjadi bagian dari budaya tradisional Indonesia.
Meski saat ini tradisi mereka sudah membias karena perbedaan generasi, namun masih ada sisa-sisa ritual yang melekat dan masih dilakukan oleh etnis ini. Salah satunya berziarah ke makam leluhur, atau disebut Maybong, yang dilakukan pada saat perayaan Tahun Baru China atau Imlek.
Ritual Maybong sendiri sedikit berbeda dengan ziarah pada umumnya. Jika ziarah biasa identik dengan bunga tabur, namun untuk Maybong lebih identik dengan hio dan wewangian.
Selain itu, keluarga Tionghoa yang berziarah ke makam leluhur juga biasanya tidak sekadar datang untuk berdoa. Usai berdoa kepada arwah yang telah tiada, mereka menyempatkan diri untuk bercengkarama di pelataran makam, yang biasanya dibuat cukup luas tersebut.
Di sana mereka asik duduk berbincang satu sama lain sambil menikmati buah-buahan atau kue-kue kecil yang mereka bawa dari rumah.
Seperti yang dilakukan oleh Wie Kung Huei. Pria usia 40 tahun ini menjalani ritual Maybong di pemakaman Rawa Kucing, Tangerang, bersama dengan keluarga besarnya.
Pria yang akrab disapa Ahuei ini mengaku datang ke pemakaman kedua orang tuanya pukul 08.00 WIB. Namun, akibat cuaca yang mendung dan sedikit gerimis, akhirnya keluarga besar Ahuei memutuskan untuk pulang setelah kurang lebih 15 menit berdoa dan berkumpul di pelataran makam.
“Biasanya kami di sini bisa menghabiskan waktu 30-45 menit atau bahkan sejam hanya sekadar mengobrol santai,” ujar Ahuei, Kamis (19/2).
Pemakaman Rawa Kucing adalah satu dari sekian pemakaman etnis Tionghoa yang ada di Tangerang. Beberapa keluarga yang merayakan Imlek juga tampak melakukan ritual Maybong ke makam leluhur mereka di sini.
Tahun Baru Imlek memang biasa dimanfaatkan oleh etnis Tionghoa untuk berkumpul bersama sanak keluarga. Bahkan ada yang rela jauh-jauh datang dari perantauan ke kampung halaman hanya untuk merasakan hangatnya nuansa kekeluargaan.
Umumnya, mereka sudah berkumpul pada malam Tahun Baru untuk menikmati perjamuan makan malam di kediaman pihak yang dituakan dalam keluarga. Namun, ada pula yang pergi beribadah ke Kelenteng atau Bio, dan juga Vihara.
Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia dirayakan oleh umat Tri Dharma, yang terdiri dari tiga ajaran yaitu Lo Cu, Buddha dan Khong Hu Cu. Ketiga ajaran ini merupakan bentuk kepercayaan etnis Tionghoa yang telah mengakar budaya dalam sejarah Tiongkok sendiri.
Sementara itu ada juga warga Tionghoa mulai lakukan ritual Ceng Beng. Ratusan warga keturunan Tionghoa mendatangi kuburan Tanah Cepek di Tangerang, Banten, untuk melakukan ziarah kubur Ceng Beng atau Ching Bing guna mendoakan serta memberikan sesajen bagi arwah leluhur mereka.
Berdasarkan pantauan, warga keturunan Tionghoa tak henti-hentinya mendatangi pemakaman khusus yang dikenal dengan sebutan kuburan cina itu.
Saat tiba di kuburan, warga Tionghoa mempersiapkan sejumlah sesajen, seperti hio dan lilin merah untuk dibakar, kemudian membakar kertas yang digambarkan sebagai uang, menyiapkan jajanan, buah-buahan, sayuran, serta air mineral.
“Makanan yang disajikan adalah yang biasanya disenangi leluhur saat masih hidup,” kata Gho Kho Ni, seorang warga keturunan Tionghoa yang ziarah kubur ke makam suaminya.
Ia mengaku hanya sekali setahun mendatangi kuburan suaminya pada saat Ceng Beng ini.
Salim, seorang penjaga pemakaman mengatakan, sejak beberapa hari ini warga keturunan Tionghoa yang ziarah kubur terus berdatangan dari pagi, siang sampai sore hari.
“Sudah beberapa hari kuburan ini dipenuhi warga untuk ziarah dan banyak yang memanen rezeki saat ini,” katanya.
Sekalipun Ceng Beng jatuh pada tanggal 5 April, namun sejak 10 hari sebelum tanggal itu, sesuai kepercayaan warga Tionghoa, sudah boleh ziarah kubur.
Menurut Tradisi Tionghoa, setiap 5 April adalah hari Ceng Beng. Dalam bahasa Mandarin Ceng Beng berarti terang dan cerah.
Pada saat itu warga Tionghoa beramai-ramai pergi ke pemakaman orang tua, leluhur untuk melakukan upacara penghormatan.
Upacara penghormatan dilakukan melalui berbagai jenis, misalnya saja dengan membersihkan kuburan, menebarkan sampai membakar kertas yang sering dikenal “gincua” atau kertas perak.
Warga Tionghoa percaya bahwa saat Ceng Beng merupakan hari baik karena cuaca cerah dan bagus serta arwah turun ke bumi.
Bahkan bila ada warga Tionghoa yang tinggal jauh dari kuburan dan sudah merantau, mereka akan berusaha untuk pulang kampung halaman, khususnya demi melakukan upacara penghormatan kepada para leluhur. (*)