Home / Kolom_3 / Bersatulah Indonesia!

Bersatulah Indonesia!

A Hakam Naja, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN

bidik.co — Pemilihan Umum Presiden 2014 telah usai dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden setelah menang tipis atas pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa.

Namun Pilpres 2014 telah membagi bangsa Indonesia menjadi dua kutub besar yang saling berseberangan, termasuk para purnawirawan, ormas, partai, golongan suku, media, dan lain-lain. Bangsa Indonesia telah menyaksikan begitu hebatnya kampanye kedua kubu dalam pertarungan pilpres kali ini, yang melukiskan seakan-akan pilpres 2014 persoalan hidup dan matinya bangsa.

Sebelumnya dalam hitung cepat, delapan lembaga survei telah memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Sementara empat lainnya memenangakan pasangan Prabowo-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Kedua kubu tersebut sama-sama mendeklarasikan kemenangan dalam pemilihan presiden.

Bersatunya kembali Indonesia

Pemilihan Umum Presiden (pilpres) 2014 ini seharusnya mampu digunakan sebagai pintu masuk terwujudnya bersatunya kembali Indonesia, yaitu rekonsiliasi nasional, untuk membangun Indonesia yang satu dan tak terbagi di masa depan. Bangsa Indonesia harus dapat membuktikan sebagai bangsa besar dengan menunjukkan sikap saling memaafkan. Poin penting dalam rekonsiliasi adalah kemauan semua pihak untuk bersatu kembali dan terutama berdamai dengan masa lalu.

Langkah rekonsiliasi nasional merupakan jalan yang tepat untuk mengembalikan kembali pilar-pilar kebangsaan dan demokrasi yang terkoyak selama proses Pilpres. Hawa panas seperti sekarang ini memang harus diredakan, mulai dari menahan diri untuk tidak mengapi-apikan suasana atas hasil rekapitulasi nasional KPU, yang telah diumumkan 22 Juli lalu.

Rekonsiliasi nasional menjadi hal penting bagi lanskap politik Indonesia setelah penetapan KPU pada 22 Juli. Pertama, selepas real count KPU sejatinya tidak ada lagi ruang bagi perbedaan yang destruktif. Kita harus sudah menggeser cara berpikir saling menjatuhkan menjadi cara berpikir yang saling bahu-membahu guna pembangunan bangsa dan negara. Energi yang ada di tengah-tengah masyarakat jangan dijadikan energi yang negatif. Hal ini karena masih banyak yang harus kita lakukan, terutama untuk menghadapi tantanan zaman ke depan.

Kedua, ketegangan di akar rumput dapat padam jika ketegangan di level elite bisa diselesaikan. Dalam arti kata lain, kelapangan hati elite nasional untuk menerima kekalahan dari kandidat lain merupakan solusi bagi penyelesaian ketegangan di tingkat elite tersebut. Oleh sebab itu, keberanian berkompetisi dalam pilpres harus juga diimbangi dengan keberanian untuk menerima kekalahan. Dengan cara inilah ketegangan di tingkat grass root bisa disudahi.

Ketiga, pengalaman dan sejarah politik mengajarkan bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara tidak pernah berlaku jika didasarkan pada kebencian dan sikap saling tidak percaya. Karena itulah, untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa, rekonsiliasi nasional bisa menjadi jalan keluar terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian rekonsiliasi nasional bukanlah membiarkan kejahatan tidak dihukum, pelanggaran tak diberi sanksi. Rekonsiliasi nasional merupakan cara untuk menyelesaikan berbagai perbedaan yang ada dan menyatukan kembali berbagai elemen lapisan bangsa yang sempat terbelah saat pilpres.

Penyelesaian sengketa

Persoalan sengketa Pilpres 2014 dimungkinkan akan berlanjut meskipun KPU sebagai penyelenggara Pilpres telah menetapkan pemenangnya. Namun demikian harus disadari bahwa penetapan yang dilakukan oleh KPU masih dianggap belum final karena masih ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk menyampaikan gugatan kecurangan yang terjadi dalam Pilpres. Sehingga sekiranya Tim Prabowo-Hatta akan menyampaikan gugatan ke MK merupakan salah satu proses yang memungkinkan untuk dilakukan.

Sebagai contoh, Pilgub Jawa Timur 2008 lalu, yang memenangkan Soekarwo-Saefullah Yusuf (KarSa) merupakan jalan yang bisa ditempuh untuk mengajukan gugatan secara konstitusional.

Rapat pleno terbuka rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU Provinsi Jatim menyatakan, KaJi (KhofifahMudjiono) memperoleh 7.669.721 suara atau 49,80 persen, sementara KarSa meraih 7.729.944 suara atau 50,20 persen. Dengan demikian, KarSa mengungguli KaJi dengan selisih tipis 60.223 suara atau 0,40 persen. KPU Jatim menyatakan, 506.343 suara sebagai tidak sah.

Namun, Tim Pemenangan KaJi menolak menandatangani berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilgub Jatim putaran II itu karena merasa dicurangi. Dan menggugat hasil penghitungan putaran kedua itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasilnya, MK mengabulkan sebagian gugatan yang dilakukan Khofifah dan menyatakan bahwa harus dilakukan penghitungan surat suara ulang di tiga daerah Pulau Madura, yaitu Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan. Meskipun hasil akhirnya tetap memberikan kemenangan kepada KarSa.

Hal itu juga terjadi pada Pilpres di Amerika Serikat tahun 2000, dimana bertarung antara George W. Bush (Partai Republik) dan Al Gore (Partai Demokrat). Pilpres Amerika tahun 2000 ternyata menjadi sebuah pengalaman yang sangat menarik, karena merupakan pemilu Amerika yang sepanjang sejarah Amerika akan tercatat sebagai pemilu yang paling rumit, paling melelahkan dan menjadi catatan buruk sistem demokrasi dalam perpemiluan Amerika.

Setelah keluar keputusan Mahkamah Agung Amerika, maka kubu Gore sudah merasa tidak ada lagi jalur upaya hukum yang dapat dilakukan guna memperjuangkan kemenangannya di Florida. Maka 25 jatah suara (electoral vote) Florida jatuh ke tangan George Bush. Dengan demikian, secara nasional Bush berhasil mengumpulkan 271 jatah suara, sedangkan Gore mengumpulkan 267 jatah suara. Menciptakan margin kemenangan yang sangat tipis yang belum pernah terjadi dalam sejarah pemilihan presiden Amerika sebelumnya. Meskipun dari jumlah pengumpulan kartu suara (popular vote) secara nasional Gore lebih unggul dibandingkan Bush. Gore mengumpulkan 50.158.094 suara (48,4%) dan Bush mengumpulkan 49.820.518 suara (48%), dengan sisanya diraih partai gurem penggembira pemilu lainnya.

Yang menarik, ketika Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang, Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Kasus sengketa Pilpres lain juga terjadi di Afghanistan. Krisis politik di Afghanistan semakin keruh setelah calon presiden Abdullah Abdullah menyatakan kemenangan dalam pemilu bulan Juni 2014, meskipun hasil awal menunjukkan ia tertinggal dari saingannya Ashraf Ghani. Berbicara di hadapan ribuan pendukungnya di Kabul, Abdullah mengatakan menolak hasil awal pemilu yang menunjukkan Ghani unggul 13 persen. Abdullah mengatakan “tidak diragukan” bahwa ia adalah pemenangnya dan tidak akan pernah mengakui apa yang disebutnya “pemerintah yang penuh kecurangan.”

Ashraf Ghani memimpin persaingan menurut hasil pendahuluan. Ghani memenangkan 56,44% suara pada pemilihan 14 Juni. Saingannya Abdullah Abdullah mendapatkan 43,56%.

Dalam kesepakatan yang dimediasi oleh Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry, calon presiden Afghanistan yang bersaingan, Abdullah Abdullah dan Ashraf Ghani, sepakat diadakannya audit sepenuhnya yang diawasi oleh PBB seluruh pemungutan suara itu dan berjanji akan mematuhi hasil akhir.

Ada fenomena menarik dengan penolakan Prabowo atas hasil Pilpres 2014. Ternyata Pilpres 2009 yang dimenangi pasangan SBY- Boediono dan ditetapkan KPI 25 Juli 2009, juga ditolak oleh pasangan capres-cawapres lain, yaitu; Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto.

Dari contoh-contoh kasus tersebut, jiwa besar capres-cawapres Prabowo-Hatta yang kalah untuk legawa menerima kekalahan mereka menjadi kunci di masa mendatang. Sebaliknya, dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres RI harus dipandang sebagai kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kemenangan tersebut bertujuan untuk membentuk solidaritas berbangsa dan tegaknya NKRI. Semua elemen bangsa merupakan kesatuan yang harus dijaga.

Dari contoh-contoh di atas, proses politik maupun hukum bisa tetap berjalan, demikian juga agenda bangsa kita harus terus maju ke depan, siapapun yang jadi presiden dan wapresnya. Momentum Pilpres harus menjadi kesempatan untuk terus melanjutkan cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan tetap tegaknya NKRI yang berdaulat, adil dan makmur. Persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap dijaga. (*)

Komentar

Komentar

Check Also

Menuju Partai Masa Depan

Oleh: A Hakam Naja Enam belas tahun lalu, tepatnya 23 Agustus 1998 Partai Amanat Nasional …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.