Oleh: Agus Ismanto*)
Sejarah Cina (Tionghoa) di Indonesia adalah sejarah yang penuh dengan kegemilangan, kegagalan, pengkhianatan, kepahlawanan, pembantaian, perseteruan, dan persahabatan. Ada sebagian dari mereka yang bersekongkol dengan penjajah, ada yang berkongkalikong dengan raja-raja untuk memeras rakyat, ada yang mengalami pembantaian oleh Belanda, ada yang menjadi pemburu rente, tapi tak sedikit yang menjadi bagian dari kisah epik tentang kepahlawanan di negeri ini.
Masuk Indonesia
Tahun 1405 sampai 1433, rombongan muhibah Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam beberapa kali singgah di Indonesia. Anak buah Laksamana Cheng Ho terdiri atas berbagai pemeluk agama, termasuk agama Islam. Saat singgah di Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa mereka juga menyebarkan ajaran agama Islam. Dengan begitu nampak jelas peran etnis Tionghoa sebagai salah satu penyebar agama Islam di Indonesia.
Imigran Tionghoa muslim di Indonesia telah ada sebelum Bangsa Portugis dan Belanda datang. Imigran Cina di abad ke-15 datang untuk tinggal di Indonesia dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Portugis dan Belanda datang ke Indonesia untuk mencari daerah koloni dan sekaligus menyebarkan ajaran agama Katolik. Imigran Cina muslim hidup membaur dengan penduduk pribumi, sedangkan Belanda dan Portugis memperlakukan penduduk pribumi secara diskriminatif dan di bawah mereka.
Pada masa penindasan Portugis dan Belanda, imigran Cina muslim juga mendapatkan penindasan seperti penduduk pribumi. Bahkan saat perang kolonial, penduduk muslim Tionghoa juga bergabung dengan para pejuang di setiap daerah melawan Belanda dan Portugis. Bahkan sejarah mencatat bahwa selain penduduk pribumi yang mengalami pembunuhan massal dari Belanda, penduduk muslim Tionghoa juga mengalami pembunuhan massal.
Penduduk muslim Tionghoa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan dari penjajah Belanda karena mereka memiliki kedekatan dengan penduduk pribumi, mereka beragama muslim seperti sebagian besar agama penduduk pribumi. Penduduk muslim Tionghoa juga melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan bergabung dengan pejuang Indonesia.
Beberapa hal ini menunjukkan bahwa di masa lalu, etnis Tionghoa juga memiliki hubungan yang baik dengan penduduk asli Indonesia, keeratan hubungan sebagai saudara karena mendapatkan tekanan yang sama dari pihak Portugis dan Belanda. Imigran Etnis Tionghoa Muslim dapat diterima penduduk Indonesia peran mereka di pertanian, perdagangan, pertukangan, dan penyebaran agama Islam.
Menurut Teguh Setiawan dalam bukunya “Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis” menyebutkan, kehadiran orang-orang Cina juga ikut mewarnai perkembangan Islam di Nusantara. Ketika Wali Songo aktif menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, beberapa keturunan China ikut berperan. Tak sedikit pula yang meyakini bahwa beberapa anggota Wali Songo adalah keturunan Cina. Kunjungan Laksamana Cheng Ho pada masa itu, mewariskan masjid yang sampai sekarang masih terawat baik di Semarang, Surabaya, dll.
Muslim Tionghoa berhasil menerjemahkan Alqur’an dalam bahasa Mandarin pada abad ke-17, namun karya itu sempat lenyap selama dua abad, dan baru muncul kembali pada 1932. Muslim Tionghoa juga pernah mendirikan partai, tetapi siapa sudi melacak dan mencatat sejarahnya. Sedemikian banyak kisah tentang keterlibatan Muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tetapi mereka tidak pernah bisa melepaskan statusnya sebagai minoritas di dalam minoritas.
Gujarat atau Cina
Muslim Tionghoa menorehkan sejarah panjang di Indonesia. Kelompok ini merupakan subkelompok dari etnis Cina yang ada di Tanah Air. Kiprah Muslim asal negeri naga pun dianggap memiliki peranan dan mewarnai penyebaran Islam di nusantara.
Sejumlah kalangan percaya, beberapa dari Wali Songo, ulama-ulama yang menyebarkan Islam ke Nusantara, memiliki darah keturunan Tionghoa atau memiliki kaitan dengan Cina. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Sebab, sumber-sumber yang digunakan sebagai rujukan masih kabur.
Kendati begitu, ada hipotesis yang berkembang terkait kehadiran Muslim Tionghoa di Nusantara. Sudah ada komunitas orang Cina Muslim yang berada di Nusantara sebelum masyarakat lokal menerima atau memeluk ajaran Islam.
Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Didi Kwartanada, hal ini berdasarkan catatan-catatan atau berita dari Bangsa Portugis, ditambah dengan catatan sekretaris Laksamana Ceng Ho sewaktu melakukan perjalanan ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa.
Komunitas “Naga Hijau” sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Berdasarkan berita dari orang Portugis, itu sudah ada (komunitas Cina Muslim) yang tinggal di sekitar kawasan pesisir, sudah ada di abad ke-14 atau sekitar abad ke-15. Dengan demikian, memang sudah Muslim dari asalnya, kemudian tinggal, bermukim, dan berdagang di Nusantara.
Namun, soal asal mula Islam masuk di Nusantara memang belum satu suara. Masih ada yang menyebut, Islam di Nusantara masuk melalui Hadramaut dan Gujarat. Ada juga yang mengungkapkan, masuknya Islam melalui daratan China. Kendati begitu, penyebaran Islam yang dilakukan melalui pesisir juga dapat dibuktikan melalui adanya legenda-legenda setempat ataupun nama-nama berbau Cina di sekitar pesisir pantai utara Pulau Jawa.
Seperti di Jepara, ada namanya Kiai Telingsing. Itu kemungkinan besar orang Cina dan berasal dari Cina Selatan, meskipun masih belum bisa dipastikan apakah dia masuk Islam di nusantara atau memang sudah memeluk Islam sebelumnya. Dia kemudian akhirnya bermukim di pesisir Jawa dan beranak-pinak di sana.
Rata-rata orang Cina yang berada di Pulau Jawa memang berasal dari Cina bagian selatan. Mereka berasal dari suku Hokian. Secara kultur, suku Hokian memang dianggap lebih luwes dan gampang membaur dengan masyarakat. Hal ini yang membuat mereka lebih mudah bergaul. Terlebih, mereka juga memiliki kepentingan perdagangan dengan masyarakat lokal Nusantara.
Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya kesamaan pemahaman agama di beberapa komunitas orang Cina. Pembauran dan asimilasi yang dibangun antara Muslim Tionghoa dengan masyarakat lokal lebih mudah. Saat ini, menurut Didi, komunitas mereka memang sudah berkembang cukup pesat. Hal ini terlihat dengan bermunculannya dai-dai atau ustadz dan ustadzah keturunan Cina. Mereka juga tidak hanya menyebarkan Islam sebatas ke komunitas Cina, tetapi juga kepada masyarakat secara umum.
Seperti misalnya Koko Liem atau Felix Siauw, yang jamaahnya bukan hanya dari kalangan Cina saja, tapi juga secara umum. Belum lagi yang ada di daerah-daerah, yang sebenarnya juga cukup banyak. Sekarang, mereka memang cukup mewarnai dakwah Islam di Indonesia.
Motif Ekonomi
Dalam catatan sejarah, awal hijrahnya muslim Tionghoa ke Indonesia bukan bermaksud menyebarkan ajaran Islam. Kesejahteraan hidup merupakan alasan utama mereka datang ke negara maritim ini.
Begitu pula dengan maksud kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Indonesia pada abad ke-15. Cheng Ho adalah seorang pemimpin pertama Islam asal Cina yang datang ke Asia Tenggara.
Dia bersama anak buahnya yang juga beragama Islam, datang untuk melakukan perdagangan dan diplomasi guna mempererat hubungan China dengan negara-negara Asia-Afrika.
Beberapa literatur mencatat, anak buah Cheng Ho, yakni Ma Huan dan Guo Chong Li, sangat mahir berbahasa Arab dan Persia. Sementara itu, Ha San adalah seorang ulama. Meski tujuan awalnya bukan menyebarkan Islam, proses asimilasi membuat banyak penduduk dari wilayah-wilayah yang mereka singgahi akhirnya memeluk Islam.
Etnis Tionghoa berperan besar dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Beberapa sumber mencatat bahwa ada di antara wali dari Wali Songo, yang berperan penting menyebarkan Islam di Jawa, memiliki darah Tionghoa.
Dengan demikian pembauran muslim Tionghoa dan pribumi sebenarnya telah terjadi. Namun, akhirnya terpecah tatkala Belanda datang dan mengembangkan politik adu domba (devide et impera). Politik ini membagi penduduk menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi atau inlanders yang mayoritas muslim.
Belanda tampaknya memang takut melihat Tionghoa dan muslim bersatu, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang bisa memisahkan dua golongan ini. Maka pada abad ke-18, Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam dan melarang kaum muslim pribumi menikah dengan Tionghoa. Peraturan produk kolonial itu kian menjauhkan Tionghoa dari pribumi.
Untuk mempersatukan muslim Tionghoa dengan muslim Indonesia, muslim Tionghoa dengan etnis Tionghoa, dan etnis Tionghoa dengan pribumi di Indonesia, H Isa Idris memprakarsai pembentukan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 14 April 1961 di Jakarta.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terutama dalam meningkatkan kerukunan antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sejarah kenangan masa lalu yang indah, dapat kita bawa dalam kehidupan yang sekarang sehingga kehidupan yang sekarang dapat menjadi lebih baik.
Luka-luka batin yang terjadi setelah kenangan indah dapat menutup kenangan indah, namun dengan membuka kenangan indah itu kembali diharapkan dapat menutup luka-luka tersebut. Begitulah salah satu prinsip positive psychology. (*)
*) Penulis adalah Pemerhati & Penikmat Sejarah.