bidik.co --- Pemerataan dan kualitas pendidikan menjadi harapan bangsa kita. Namun keinginan untuk mencapai pendidikan yang berkualitas masih jauh panggang dari api. Pendidikan di Indonesia masih saja berkutat pada persoalan-persoalan mendasar, seperti kurangnya jumlah dan kualitas guru. “Kebutuhan tenaga pendidik seharusnya sudah selesai puluhan tahun yang lalu. Artinya, penerimaan guru di sekolah-sekolah seharusnya mengacu pada sebuah rencana rapi. Ada rencana penerimaan sekian orang berdasarkan kebutuhan, lalu rencana itu dianggarkan dananya, kemudian diproses penerimaan,” tutur Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Husna di Jakarta, Selasa 22 Januari 2019, menanggapi masalah guru di Indonesia. Selanjutnya Husna menjelaskan, yang terjadi saat ini adalah, kita kekurangan guru, tapi pemerintah tak punya cukup anggaran untuk menggaji mereka. Beberapa daerah masih kekurangan guru, dengan rasio guru-murid masih di bawah standar yang ditetapkan. “Pemerintah seharusnya mengangkat guru-guru baru untuk memenuhi kebutuhan itu, tapi tidak punya anggaran untuk menambah pegawai baru. Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka. Pendidikan diselenggarakan secara darurat. Cara seperti ini sebenarnya membuat kita bersama sedih, meski dengan alasan situasi darurat,” tandasnya. “Memang penambahan guru memang sudah di depan mata. Namun anggaran penambahan guru hanya terkait daerah 3 T, yaitu terdepan, tertinggal, terluar. Ada penambahan 6.000-an guru, tapi hanya untuk daerah 3 T. Guru-guru itu sudah tersertifikasi, jadi status mereka sudah PNS,” jelas Tenaga Ahli bidang pendidikan di DPR RI itu. Selanjutnya Husna menjelaskan, hingga saat ini, profesi guru yang berstatus PNS memang terbilang masih rendah. Keadaan ini katanya lebih karena persoalan sistem penerimaan guru. Saat ini untuk menjadi guru berstatus PNS dibatasi dengan pendidikan formal minimal sarjana (S1), kemudian dilanjutkan dengan sertifikasi guru. Beda dengan profesi guru di masa lalu hanya bermodalkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ia sudah bisa mengajar di sekolah. Dirinya juga mencontohkan permasalahan guru di tanah kelahirannya, Riau, belum adanya pemerataan distribusi guru antara daerah dan kota. “Tentu saja para guru akan memilih mengajar di kota karena fasilitas lebih memadai dan tidak banyak problem yang akan dihadapinya,” tuturnya. Karena itu, Husna menyarankan, baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah memberi insentif yang tinggi terhadap guru-guru yang mau tinggal dan mengajar di daerah-daerah terpencil. “Saya kira, Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah perlu mengambil langkah yang sigap untuk masalah ini dengan member insentif yang lebih besar pada guru-guru yang mau ditempatkan di daerah-daerah,” tegasnya. (*)