bidik.co – Pakar hukum tata negara Margarito Kamis dihadirkan tim hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai saksi ahli di persidangan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi.
Di muka persidangan, Margarito menjelaskan mengatakan bahwa legalitas pemilihan umum secara otomatis gugur saat terjadi pelanggaran di dalamnya.
“Asal ada pelanggaran konstitusi, itu pelanggaran konstitusional. Pelanggaran itu menghilangkan konstitusi pemilu itu sendiri,” katanya di Gedung MK, Jakarta, Jumat (15/8/2014).
Margarito menjelaskan pernyataan ini terkait anggapan keliru selama ini mengenai legitimasi pemilu. Anggapan itu adalah pemilu baru akan dinyatakan runtuh saat ada pelanggaran terstruktur, sistematif, dan masif.
“Selama ada pelanggaran konstitusi. Itu meruntuhkan karena itu pelanggaran konstitusional,” katanya.
Selain itu ia menilai pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah pemilih tidak sah. Karena tidak diatur dalam undang-undang. Menurut Margarito, jika DPKTb digunakan, maka penyelenggara pemilu tidak perlu lagi menggunakan data Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Pertimbangan DPK dan DPKTb adalah mempertimbangkan ketergunaan hak warga negara Indonesia dalam memilih. Kalau pertimbangannya itu, maka tidak perlu ada DPT. Asal memenuhi syarat usia dan WNI, bisa memilih,” jelasnya.
Margarito mengatakan tidak menemukan satu ketentuan pun, baik berupa pasal, ayat, atau huruf dalam UU nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden.
“Apa akibat hukumnya? Akibat hukumnya adalah keberadaan dan pengunaan DPK serta DPKTb itu tidak sah,” jelasnya..
DPKTb adalah daftar pemilih bagi warga atau pemilih yang memiliki hak suara namun tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). DPKTb dipersoalkan, karena kubu pemohon menilai jumlah DPKTb membengkak. Di mana KPU pernah menyatakan, jika jumlah DPKTb hanyalah 2 persen dari jumlah DPT terkait.
Margarito mengatakan, jika ada DPT kenapa harus ada DPKTb. Maka dari itu menurutnya, tidak perlu ada DPT jika KPU menyediakan DPKTb.
“Tetapi kalau begini (ada DPKTb) jalan keluarnya, maka tak perlu ada DPT. Asal orang itu WNI (bisa memilih). Karena itu saya berpendapat bahwa DPKTb adalah bertentangan dan pelanggaran konstitusi,” tandas Margarito. (if)