bidik.co — Malapetaka Limabelas Januari atau yang dikenal dengan Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14–17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil untuk menerobos masuk pangkalan udara.
Kepulangannya, pada 17 Januari 1974 pukul delapan pagi, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menyebabkan Jakarta berasap. Peristiwa tersebut mengakibatkan jatuhnya korban 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, 750 orang ditangkap tersebut, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, tak hanya itu, Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis.
Atas peristiwa tersebut menjadikan Presiden Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala BIN, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.
Dalam peristiwa Malari, Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Namun, setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Sjahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikit pun fakta dan tak ada seorang pun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ.
Belakangan, pernyataan muncul dari dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Kronologi
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan momentum awal untuk demonstrasi antimodal asing ini. Jan P Pronk tiba di Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan berdemonstrasi melalui gambar-gambar poster sebagai bentuk kritik karena kedatangannya.
Selain melakukan aksi, kelompok mahasiswa juga mengatur strategi supaya dapat melakukan pertemuan dengan Jan P Pronk. Perwakilan salah satu mahasiswi melakukan pendekatan dengan memberikan karangan bunga kepada Jan P Pronk. Tidak hanya memberikan karangan bunga, diam-diam mahasiswi tersebut memberikan surat yang isinya memorandum penolakan kedatangannya.
Bukan hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai elemen seperti mahasiswa dan masyarakat sipil. Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi.
Mahasiswa menyambut kedatangan Kakuei pada 14 Januari dengan melakukan demonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, para demonstran tak bisa masuk karena mendapat penjagaan ketat dari aparat keamanan.
Keesokan harinya, mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Selain tiga tuntutan itu, mahasiswa juga menuntut dibubarkannya Asisten Penasehat Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.
Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas dan berakhir ricuh. Kerusuhan besar ini diduga terjadi karena provokator. Saat itu, terjadi sejumlah pengrusakan, pembakaran, dan penghancuran merek mobil Jepang.
Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Massa menjarah dan membakar pusat perbelanjaan itu. Sejumlah gedung pun terbakar.
Aparat keamanan menyalahkan mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Namun, mahasiswa menyanggah dan menyebut aksi yang mereka lakukan dari Salemba ke Grogol berlangsung damai.
Setelah kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil langkah dengan mencopot Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro. Dia dianggap bertanggung jawab terjadinya kerusuhan dan korban tewas.
Pencopotan juga menimpa orang-orang terdekat Sumitro. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono dicopot dan digantikan oleh Yoga Soegomo.
Sementara Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang saat itu menjadi penggerak para mahasiswa berdemonstrasi, Hariman Siregar dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dijatuhi hukuman penjara.
Tuntutan pembubaran Aspri tercapai. Lembaga Asisten Pribadi Presiden pun dibubarkan. Meski begitu, Mantan pemimpin Aspri Ali Murtopo dipindah tugaskan ke Bakin.
Investasi Asing vs Friksi Elite Militer
Mahasiswa yang pada saat itu merasa kebijakan ekonomi Soeharto terlalu berpihak kepada investasi asing, memanfaatkan momen tersebut untuk turun ke jalan dan menggelar aksi unjuk rasa. Akan tetapi, aksi unjuk rasa yang semula berjalan damai itu berujung kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Pertanyaannya, benarkah kerusuhan Malari 1974 dipicu oleh demo mahasiswa? Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam (Kompas, 16 Januari 2003) menyebutkan, peristiwa Malari dapat ditelaah dari beberapa perspektif. Menurut Asvi, ada yang memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.
Sementara itu, beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Selain itu, analisis lain menduga peristiwa itu dipicu oleh friksi elite militer Orde Baru. “Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo,” kata Asvi.
Dugaan friksi militer Dalam buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998), terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Misalnya, Soemitro mengungkapkan bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam).
Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).
Sebaliknya, “dokumen Ramadi” mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus. “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo, orang-orang terdekat Soeharto.
Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu Jenderal Soemitro. Pasca-peristiwa Malari Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo mengenai peristiwa Malari berbeda, bahkan bertentangan. Hingga saat ini, tidak terungkap aktor intelektual di balik peristiwa itu. Namun, serangkaian peristiwa penting terjadi pasca-peristiwa Malari.
Di sisi lain, Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga Sugama. Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang.
“Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah,” kata Asvi.
Menurut Asvi, setelah insiden itu Soeharto menjadi amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Ia menilai, sejak saat itu Soeharto mulai menjalankan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. “Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis,” kata Asvi. (is)