Ummu Salamah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
bidik.co — Komedian paling bersinar Olga Syahputra meninggal dunia. Dukacita mendalam dirasakan keluarga dan juga para penggemarnya. Dengan meninggalnya Olga juga, kasus hukum yang sempat disangkakan dugaan fitnah, pencemaran nama baik, dan pidana UU ITE yang dilaporkan oleh dokter Febby Karina pun gugur. Olga pada 2013 lalu dilaporkan dokter Febby terkait candaan di sebuah acara televisi.
Dua tahun lalu, Febby Karina, yang berprofesi sebagai dokter melaporkan almarhum Olga Syahputra ke Polda Metro Jaya. Dalam Laporan Polisi bernomor LP/2077/IV/2013/PMJ/ Ditreskrimum saat itu, almarhum dilaporkan dengan dugaan melakukan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan tindak pidana dalam UU ITE (Informasi Transaksi Elektronik).
Kasus serupa juga terjadi pada Iken Nasution, putra pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang meninggal dunia. Persoalan pidana korupsi Iken yang tengah disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) praktis gugur.
Sebelumnya Iken telah ditetapkan jadi tersangka oleh KPK terkait kasus korupsi pengadaan sapi di Departemen Sosial pada tahun 2004. Dalam kasus itu, selain Iken sebagai tersangka lainnya yakni mantan Mensos Bachtiar Chamsyah.
Gugur Status Hukum
Dasar kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia tersebut tercantum di dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Penuntutan dinyatakan gugur demi hukum karena seseorang meninggal dunia.”
Namun demikian, hal ini perlu dilihat lagi berkas perkara laporan tersebut untuk mengetahui apakah Olga Syahputra merupakan salah satu pihak terlapor atau masih ada pihak lainnya. Apabila ada pihak terlapor lainnya, maka kasus tersebut tetap diproses, namun untuk terlapor Olga Syahputra dinyatakan penuntutan gugur demi hukum.
Pasal 77 menentukan bahwa ”kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi dari pertanggungjawaban pidana dan pembahasan dari suatu pidana, dan dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal. Bila si pembuat meninggal dunia sebelum pidana dijatuhkan tidak diperlukan tindakan penuntutan untuk pada akhirnya menjatuhkan pidana terhadapnya, karena bila dijatuhkan pidana pun tidak ada manfaatnya.
Walaupun sesungguhnya dari sudut yang lain, ada juga manfaatnya bagi almarhum terdakwa agar penuntutan tetap dilanjutkan yaitu dalam hal apabila terdakwa tersebut memang tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yang apabila menurut majelis hakim tidak melakukan kesalahan pada akhirnya ia akan diputus pembebasan.
Lalu muncul pertanyaan, gugur bagaimana? Gugur sesusai dengan maksud Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Selanjutnya, apakah hapusnya kewenangan menuntut diterapkan secara serta merta (otomatis)? Atau masih memerlukan surat semacam SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)? Tentu saja hal itu tidak perlu surat apapun, hapusnya kewenangan menuntut terjadi dengan serta merta. Lagi pula, keadaan tersangka yang meninggal dunia, bukan menjadi alasan untuk terbitnya SP3 sebagaimana dimaksud Pasal 109 KUHAP.
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Kemudian, bagaimana dengan statusnya sebagai Tersangka? Sampai kapan status Tersangka melekat pada diri seorang tersangka yang telah meninggal dunia? Tentu saja statusnya akan melekat sampai kiamat, kecuali diterbitkan SP3. Itupun SP3 alasannya juga bukan dengan alasan karena tersangka meninggal, melainkan alasan-alasan yang ditegaskan dalam Pasal 109 KUHAP.
Melekat Sebagai Tersangka
Mengenai makna atau tafsir hukum terhadap status Tersangka masih terus melekat pada diri seorang yang telah meninggal dunia, tentu saja karena Tersangka yang meninggal, tidak dapat dinyatakan bersalah dan tidak dapat diperlakukan sebagai layaknya orang yang bersalah. Karena belum ada putusan hukum yang menyatakan ia bersalah. Namun belum sepenuhnya juga bahwa dia terbukti tidak bersalah.
Sementara jika keluarga atau ahli waris Tersangka ingin mendapatkan kepastian hukum bahwa almarhum Tersangka tidak bersalah, apakah ada mekanismenya?
Di dalam KUHAP tidak mengatur mekanisme hukum bagi keluarga atau ahli waris untuk mendapat kepastian hukum bahwa almarhum Tersangka tidak bersalah. Sehingga tidak ada mekanisme hukum untuk menggugurkan status Tersangka yang melekat pada diri orang yang telah meninggal. Dengan demikian, sampai kiamat pun status Tersangka akan terus melekat pada diri orang yang meninggal. (*)