Home / Editorial / Janji Konstitusi

Janji Konstitusi

bidik.co — Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup Bangsa Indonesia agar tidak tertinggal dengan bangsa lain. Mahalnya biaya pendidikan seringkali menjadi kendala bagi masyarakat tak mampu untuk melanjutkan sekolah.

Sebenarnya jika mengacu Internatinal Covenant of Economics, Social, and Culture Rights (ICESCR) tahun 1966, ditegaskan bahwa, Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: Pertama, Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis bagi semua orang;

Kedua, Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Ketiga, Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Meskipin Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini 39 tahun berikutnya, yaitu tahun 2005, melalui UU No 11 tahun 2005 tentang ratifikasi ICESCR, setidaknya Indonesia telah berupaya untuk menjamin warganya untuk mengenyam akses pendidikan di tiap jenjang.

Yang dapat diambil intisari dari ketentuan tersebut, bahwasanya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal dan adalah kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka disepakatilah bahwa pendidikan dalam jenjang apapun harus gratis.

Di Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni Undang Undang Dasar 1945. Pada Pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat (3) bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Dari situ sebenarnya, konstitusi kita memiliki “janji” kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah barang yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang sanggup mengenyam pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja?

Jika kita membandingkan negara lain seperti; Kuba, Belanda, dan Finlandia, pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara yang dasar dengan menengah dan yang tinggi. Ataupun yang nasional, swasta, dan internasional. Juga yang beasiswa kurang mampu ataupun yang biaya tinggi. Tidak ada pemisahan hak bagi si kaya ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha, anak bodoh ataupun anak pintar.

Karena itu, tidak ada diskriminasi secara sosial maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Jika saja cara pandang kita tidak menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak mungkin menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah kemustahilan. Sebagai subyek yang telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah sadar kita akan menuntut haknya untuk mendapatkan akses pendidikan secara terbuka.

Persoalannya, kita semua saat ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa keadaan seseorang merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang seperti inilah sebagai pandangan liberal. Dapat dicontohkan, seorang anak yang miskin dan bodoh, dalam pandangan ini, ia miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh karena tidak sekolah. Tapi benarkah demikian? Apakah seorang anak sudah dapat menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan bodoh? Tentu saja tidak.

Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak tersebut menjadi miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang menghendaki, tapi karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial, politik, dan hukum yang mempengaruhi anak tersebut.

Mungkin saja karena negara tidak mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan keadaan seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu sendiri, tapi juga karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya.

Karena itu, sudah saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang memiliki hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan hanya memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain sebagai bentuk kepedulian sesama manusia. (Agus Ismanto)

Komentar

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.